22 April 2009

Kerinduan yang terpendam

Setelah 3 tahun pacaran dengan Evo, akhirnya saya putus juga dengan Evo.

Kring... kring...

” Good morning, Febby is speaking,”
“Feb, ini gua Lia,”
“Oh.. Mbak Lia, ada apa nih telepon pagi-pagi..”
“Feb, Mbak kan ditugasin ke Aussie selama 3 bulan, kamu bisa ga nginap di tempat Mbak ?”
”Ga enak mbak sama Mas Baron.”
”Mbak justru mau minta tolong kamu, selama mbak tugas ke Aussie, kamu urus Mas mu ini.. Ayolah Feb... Mas mu ini kalo ga diurus seperti kalo ga disuruh makan, dia ga mau makan..”
“hm....” Febby berpikir...
“ yah... Feb... Please...”
“ Baik deh mbak...”
“Thank ya Feb, ntar bawain oleh-oleh deh”
Kemudian Febby tinggal di tempat Lia selama 3 bulan.

Sepeninggal Lia, aku dan Baron hanya berdua di rumah. Agak aneh memang,
tinggal serumah dengan laki-laki yang bukan suami. Aku memang menggantikan peran
Lia di rumah. Semua kebutuhan Baron aku yang menyiapkan. Lia yang meminta
aku melakukan ini. Kecuali kebutuhan biologis, bisa dikatakan semua kebutuhan
Baron aku layani.
Memasuki minggu ketiga, aku dan Baron mulai sering mencari hiburan di luar rumah
berdua. Bersama Baron, kami pergi nonton film atau makan malam. Sesekali, Baron
menemaniku melihat pameran rumah atau lainnya. Beberapa kali, kami juga hinggap
ke cafe-cafe. Dan tampaknya, hobi datang ke cafe ini adalah yang paling kami
nikmati. Aku dan Baron jadi keranjingan mendatangi cafe. Satu persatu kami
jelajahi. Coba di sini, coba di sana, pokoknya hampir semua kami coba. Sedikit
mendengar musik, ngobrol, dan minum, cukup membuat kami segar kembali. Lia
juga tahu kebiasaan kami ini. Dia juga yang menyuruh suaminya menemaniku
jalan-jalan. Dari aksi jalan-jalan ini saya jadi tahu, Baron memang seorang pria
lembut.
Seiring dengan itu, kerinduanku dengan Evo semakin memuncak. Maklum, sudah
hampir setahun kami berpisah. Dulu, saat masih bersama, aku dan Evo tinggal
serumah, sehingga kebutuhan biologis bukanlah masalah yang serius. Beruntung,
aku punya kesibukan di rumah, sehingga selama ini semua keinginan untuk
berhubungan intim bisa kuredam. Namun, setiap pulang dari cafe, apalagi disana
aku juga mengkonsumsi minuman beralkohol (walaupun tidak banyak), keinginan
tersebut kerap muncul. Dan, seringkali aku memupuskannya dengan cepat tidur,
sehingga lupa. Sampai suatu hari, aku agak lepas kontrol dalam menenggak
minuman. Singkatnya, aku sedikit mabuk. Berjalan ke mobil aku memang masih bisa,
tapi sesudahnya tubuhku lemas dan setibanya di rumah, badanku terasa berat dan
sulit untuk bisa beranjak keluar mobil. Baron-pun sama, walaupun kadarnya masih
lebih banyak aku. Ia masih bisa mengendalikan diri dan membantuku berjalan.
“Ayo Feb, aku bantu,” ujarnya sambil melingkarkan tangannya ke pinggangku. Aku
rangkul pundaknya dan kepegang tangannya erat. Pelan-pelan kami berjalan ke
kamar. Baron membantuku merebahkan tubuh di ranjang.
“Mau air putih?” tanyanya. Aku menggeleng. “Thank Ron. Sorry, aku kebanyakan
minum,” ujarku. “Ngga pa-pa, biasa kok, sekali-sekali mabuk itu normal.”
Ia berjalan hendak keluar kamar. Apa yang aku rasakan mendadak berubah. Tiga Minggu tinggal bersama di rumah ini, baru sekali ini Baron menyentuh tubuhku. Rasanya memang berbeda, tubuhku terasa bergetar. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba aku seperti ingin diperlakukan lebih.
Aku tersenyum memandang wajahnya. Baron juga tersenyum. Baron mengurungkan
niatnya untuk keluar kamar. Ia mendekat dan membelai rambutku. Kusambut
belaiannya dengan mencium tangannya. Tangannya menggenggam tanganku dan tanpa
aku sadari, kutarik tubuhnya mendekati tubuhku. Sebuah kecupan lembut mendarat
di bibirku. Tanpa pikir panjang, aku sambut kecupannya dan akhirnya kami
bercumbu.
Pengaruh alkohol seakan semakin memanaskan adegan percintaan kami. Tangan Baron
mulai meraba sekujur tubuhku, membuat aku semakin lepas kendali. Kecupannya juga
sudah merambat ke leher. Aku hanya bisa memeluknya erat dan menarik polo
shirtnya ke atas. Kuciumi pundaknya dengan ganas. Baron meronta kegelian, dan
kini giliran lidahnya menari-nari diatas dadaku. Kerah kaus yang aku pakai
semakin turun dan sedikit demi sedikit lidahnya terasa membasahi dadaku. Baron
semakin ganas, tanpa meminta persetujuanku, kancing di kausku mulai terbuka satu
per satu. Dengan sigap, tangannya juga melepas bra hitam milikku. Ia tersenyum
menyaksikan payudaraku polos dihadapannya. Dirabanya lembut seluruh permukaan
payudaraku itu. Kami kembali berciuman, kali ini lebih ganas. Aksi pagut-memagut
terjadi. Sambil terus berciuman, ia mulai membuka kancing celanaku dan
perlahan-lahan menurunkannya. Jemarinya menelusup ke sela-sela celana dalamku.
Seketika aku mendesah keras saat jari-jari menyentuh organ paling intim di
tubuhku. Rabaannya halus dan sungguh merangsang nafsu birahiku. Tak sampai
sepuluh menit, kami sudah berpelukan polos tanpa batas.
Nikmat sekali rasanya didekap oleh tangan Baron yang kekar. Bulu-bulu tubuhnya
seperti menggelitik sekujur tubuhku. Kami makin lupa diri. Tanpa perlawanan, aku
memang rela menyerahkan tubuhku pada Baron dalam kondisi seperti itu. Baronpun
sepertinya semakin bernafsu. Nafasnya semakin memburu. Penisnya mulai menyentuh
bibir vaginaku, seperti hendak mencari jalan masuk. Saat itu, bagiku tidak ada
pilihan selain menerima penisnya terbenam di liang vaginaku, setahun lebih aku
menanti saat-saat seperti ini.
“Feb…?”
Aku mengangguk pelan dan sesaat kemudian tubuhnya mulai menekan tubuhku.
Kugenggam penisnya dan membantunya mengarahkan ke vaginaku. Sekali lagi ia
menciumku, tak lama kemudian penisnya sudah bersarang di vaginaku tanda sebuah
perselingkuhan telah terjadi.
Baron mendesah panjang. Nafasnya memburu, sementara goyangan tubuh bagian
bawahnya mendesak kedua pahaku semakin terbuka lebar. Kedua lengannya berdiri
tegak menahan badannya di kiri-kanan kepalaku. Dadanya menutupi semua
pandanganku. Aku hanya bisa melingkarkan lengan kepunggungnya. Tanpa bisa
kutahan, desahanku terdengar keras mengikuti irama gerakan Baron. Derit ranjang
tempat kami bercinta semakin cepat. Kulirikan mataku keatas, kulihat mata Baron
terpejam sambil menggigit bibir bawahnya. Aku berusaha menyilangkan kaki ke atas
pinggulnya, terlihat Baron tersenyum tanda ia senang akan apa yang aku perbuat.
Lengannya tertekuk sedikit dan bibirnya mengecup dahiku. Ketekan pantatku ke
bawah, mulutnya bergumam.
“Ouh…enak Feb, lagi…,”
Baron merengek meminta saya melakukan hal yang sama berulang-ulang, sementara ia
terus menggoyangkan pantatnya. Merasa nikmat, Baron malah semakin buas. Nikmat
sekali memang jika gerakannya semakin cepat seperti itu. Pelan-pelan aku rasakan
puncak kenikmatan semakin dekat. Mataku mulai terpejam, ah…, saat-saat seperti
ini yang aku tunggu setiap bercinta dengan laki-laki. Desahku semakin terdengar
tak beraturan. Darah ditubuhku mengalir dengan cepat. Dan, tak berapa lama,
tubuhku terasa bergetar. Aku menggelinjang, punggung Baron aku dekap erat,
sementara kakiku menekan pantatnya sekuat tenaga. “Terus Ron…terus….”
Gerakan Baron semakin cepat. “Sedikit lagi…sedikit lagi.” Kenikmatan itu aku
rasakan semakin dekat, dan….. “Ooooooh…..,” desahku panjang dan terdengar
keras. Kakiku menghentak-hentakkan pantatnya, nafasku memburu, dan pinggulku
terlonjak-lonjak. Baron memperlambat gerakannya dan melihatku sambil tersenyum.
Kemudian, nafasku mulai tenang. Mataku masih terpejam saat Baron mencium bibirku
lembut. Aku membuka mata. Baron mulai lagi bergerak dengan buas. Penisnya
menghujam vaginaku tanpa ampun. Hanya reda beberapa saat, desahku mulai kembali
memburu, demikian juga dengan Baron.

“Uuh…uh, Ayo Ron,…aku sudah,”
Aku bergumam berusaha memacunya agar cepat menyelesaikan adegan percintaan ini.
Penisnya terasa makin keras, guratan di sekujur alat kelaminnya terasa sekali
membentur dinding vaginaku.
“Febbyyy!!!” teriaknya memanggil namaku. Seketika, goyangannya terputus-putus,
tubuhnya bergetar, desahnya membahana memenuhi ruangan, diiringi denyut
penisnya, dan cairan hangat yang memenuhi kemaluanku. Ia terjerebab menimpaku.
Aku memeluknya erat dan menciumi dadanya yang menimpa wajahku. Baron tergolek
lemas, kepalanya terkulai di atas dadaku, ia tampak berusaha mengatur nafasnya.
Lantas tubuhnya terguling ke sisiku. Di wajahnya tersungging senyum tanda
kepuasan. Kuhampiri wajahnya, dan kurebahkan kepalaku ke dadanya.
“Enak, Ron?”

Ia mengangguk dan membuka matanya. Tanpa berkata-kata, ia mencium bibirku dan
memelukku erat. Ia tersenyum lagi dan mencium dahiku lembut. Kami berpelukan
agak lama. Keringat terasa membasahi tubuh kami. Aku usap dahinya yang berpeluh.
Ia membelai rambutku lembut, kucium lengannya yang kekar dan mendekapnya.
“Yuk, kita tidur…,” ajak Baron.
Aku mengangguk dan menarik selimut.
Namun, hingga setengah jam kemudian, aku masih belum bisa tidur. Kupandangi
Baron yang tertidur pulas meyimpulkan kenikmatan bagi dirinya. Kulihat wajahnya
yang tampan dan tubuhnya yang tinggi besar tergolek lemas di sampingku. Ah, saya
masih tak habis pikir, bagaimana semua ini bisa terjadi? Kekhilafan itu seakan
melupakan kita akan status masing-masing yang seharusnya aib jika melakukan
hubungan layaknya hubungan suami istri. Pikiranku menerawang jauh, tak ada
duanya memang, sensasi yang kami lakukan.
——–
Aku terbangun oleh bunyi telepon yang berdering kencang. Baron terlonjak dari
tidurnya dan berjalan menuju ruang tengah. Tubuhnya masih telanjang. Seadanya
aku mengenakan kimono. Langkahku terhenti di pintu dan menguping pembicaraan
Baron.
“…Iya sayangku, sebentar lagi aku berangkat,…baru keluar kamar mau
sarapan,….ada, di kamar,…iya..iya nanti aku sampaikan,…kamu di
mana?….ooh, kasihan…, capek?….Ya udah, kamu cepat pulang terus
istirahat,…nanti aku telpon dari kantor….baik,…i love you too, bye…”
Mata Baron beralih ke diriku. Sorot matanya sedikit berbeda dibanding tadi
malam.
“Lia…?”
Baron mengangguk. Aku menunduk, tak terasa, ada genangan air di mataku. Baron
mendekat dan memeluk diriku erat. Ia membelai rambutku dan mencium keningku.
“Maafkan aku Feb. Aku khilaf,” ujarnya singkat.
Aku tak kuasa berkata-kata, mulutku seperti kaku. Aku memang jahat, telah
mengkhianati adikku sendiri, adikku yang paling aku sayangi.
“Kita semalam mabuk,” ucap Baron berusaha mencari pembenaran. Aku tetap diam tak
bereaksi apa-apa. Aku hanya bisa memandang wajahnya dan tersenyum tipis. Ia
membalas senyumku dan kembali memeluk erat tubuhku. Aku segera menyadari,
hubungan kami tidak akan seperti lima bulan terakhir, karena pembatas itu sudah
jebol, walaupun lewat sebuah perselingkuhan.
Pagi itu, aku merasa semakin dekat dengan Baron. Aku seperti mendapat peran
tambahan, seperti menjadi istri baru bagi Baron. Untuk pertamakalinya, aku
mengantarnya berangkat ke kantor sampai ke mobil. Baron terlihat senang sekali
diperlakukan seperti itu. Sebelum pergi, ia mencium bibirku lembut, persis
seperti yang dilakukannya pada Lia. Ah, kejadian malam itu seakan mengubah
semua sikap kami berdua. Malam itu, habis-habisnya kami bertempur. Dua jam kami
bergumul di ranjang kamarku sampai akhirnya kami kelelahan. Kenikmatannya memang
tiada tara, ada sensasi tersendiri yang terasa menyelinap.
Kenikmatan yang sama selalu kami usahakan berulang lagi. Aku selalu siap
melayaninya kapan saja ia butuh, demikian juga dengannya. Tanpa pernah menolak,
Baron selalu meladeni permintaanku. Rasanya, aku tak bisa melewatkan satu hari
tanpa bertemu dengan penisnya yang sudah memberikan kenikmatan padaku. Jadwal
rutin kami adalah pagi sebelum Baron berangkat ke kantor dan malam hari. Di hari
libur, frekuensinya meningkat. Tanpa mengenal waktu, setiap saat kami bisa
melakukannya sesuka kami. Lebih-lebih jika kami khusus pesiar ke suatu tempat.
Bak pengantin baru, kami memuaskan diri dengan hubungan intim yang luar biasa.
Kemampuannya memang lain dibanding Evo. Jika kekasihku itu punya kelebihan
dalam mencari variasi baru dan membuatku nyaman, maka Baron lain lagi. Daya
tahannya memang bagus. Mungkin akibat ia rutin berolahraga. Nafsunya juga besar,
melihat aku memakai pakaian sedikit seksi saja, ia langsung mendekapku dan
biasanya berakhir dengan persetubuhan. Jiwa petualangannya juga sedikit di luar
batas. Dalam dua bulan ini saja, sudah berulangkali ia mengajakku berhubungan
intim di tempat-tempat yang agak mengandung resiko. Yang paling saya ingat
adalah saat ia mengajakku bersetubuh di kolam renang sebuah hotel di LA.
Padahal, saat itu banyak orang di sekitar kita. Caranya memang unik. Tanpa
keluar dari kolam, ia mengeluarkan penisnya di dalam air dan memasukkannya ke
vaginaku sambil berdiri. Aku disuruhnya tetap diam dan ia yang mengontrol
permainan kami. Maksudnya agar orang-orang tidak curiga.

Dari dia juga saya jadi tahu ternyata Lia tidak seperti yang saya kira.
Adikku ini pendiam dan tidak banyak maunya. Tadinya aku berpikir, Lia akan
pasif di tempat tidur. Ternyata aku salah besar. Menurut Baron, sejak malam
pertama, Lia selalu berusaha mencari sesuatu yang baru dalam berhubungan
suami istri. Nafsu seksualnya juga besar, kadang, masih menurut Baron, mereka
melakukannya tiga sampai empat kali sehari. Dalam hati aku berkata, sama saja
dengan adiknya. Kami amat menyadari, apa yang telah terjadi diantara kita
adalah sebuah perselingkuhan. Kami juga sepakat tidak mengaitkan hal ini dengan
keberadaan Lia. Dengan Evo, walaupun kami sangat terbuka, saya juga tetap
merahasiakan hubungan gila ini. Mengapa? Semata-mata agar kami tidak merasa
bersalah. Nikmati saja dulu apa yang kini sudah terjadi

0 komentar:

 

Blog Saru © 2008 using D'Bluez Theme Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez Based on FREEmium theme