22 April 2009

Alma : The Way We Were

Gadis kota kecil bermata lembut dan berwajah innocent itu tetap saja bermata lembut dan berwajah innocent. Kecuali kini ia adalah mahasiswi ibukota yang terkadang terlihat sangat letih akibat kuliah yang ekstra berat di fakultas kedokteran. Tubuhnya menjangkung sedikit. Juga menjadi agak kurus, walau justru membuatnya lebih semampai. Kalau ia memakai baju terusan (yang belum pernah dilakukannya di kota kelahiran dulu), Alma tampak matang dan dewasa. Rambutnya dipotong agak pendek, sehingga lehernya yang jenjang itu makin tampil indah.

Gadis itu kini juga adalah gadis ibukota. Penampilannya berubah, walau kesederhanaan masih membekas kuat. Ia kini memakai lipstik dan minyak wangi merek terkenal, yang dulu hanya pernah ia lihat di meja rias Ibu. Ia juga memakai berbagai asesori, walau tak mewah. Secara keseluruhan ia tetap Alma yang dulu, dengan senyum manis yang terkesan terlalu sopan, walau kalau tertawa bisa berderai lepas renyai. Bicaranya tetap polos dan tanpa prejudis, walau kini logat ibukotanya semakin kental. Ia tetap Alma yang dulu suka bersepeda ke pantai, walau kini ia lebih suka naik mobil ke mana-mana. Hobi pecinta-alamnya agak terbengkalai, diganti hobi mengoleksi kaset penyanyi pop.

Dua tahun pertamanya di ibukota adalah masa yang tak enak: sebuah kemarau yang teramat panjang di hatinya. Sebuah kegersangan yang berujung di sepucuk surat yang tak jadi dikirimkan ke seseorang nun di sana. Ironisnya, surat itu pula yang memegat-putus dirinya dengan masa lampau. Sejak surat itu selesai, maka usai sudah sebuah babak hidup belianya. Namun, lebih ironis lagi, sampai saat ini surat itu sebenarnya masih ada, tetapi Alma lupa di mana ia meletakkannya. Mungkin di antara puluhan buku dan diktat yang tergeletak begitu saja di kamarnya yang agak semrawut. Mungkin di bawah baju-bajunya. Mungkin terselip di salah satu diari usang di pojok meja. Mungkin...

Alma kini agak lupa isi surat itu, tetapi ia masih bisa mengira-ngira. Paling tidak ia ingat salah satu kalimat yang ia tulis dengan agak gemetar itu: ... lupakan Alma, dan belajarlah lebih giat lagi.... Ia juga ingat, surat itu akhirnya selesai setelah hampir selusin lembar kertas merahmuda tersobek-tercabik. Tetapi, setelah jadi, surat itu tidak dikirim. Surat itu menggeletak selama seminggu di mejanya. Lalu ia membawanya ke kantor pos, tetapi di pintu masuk ia menghentikan langkah. Tidak jadi membeli perangko dan mengirimnya. Lalu surat itu diselipkan di diarinya dan dua minggu kemudian diari itu habis terisi. Lalu diari itu diganti.... Surat itu tak pernah terkirim.

Alma tak pernah lupa mengapa ia menulis surat terakhir itu. Mengapa dengan berlinang air mata ia mengambil keputusan pedih itu. Alma ingat, surat itu ia tulis dua malam setelah Devan menciumnya di beranda.....

******

Devan.... Alma menggigit bibirnya ketika nama pemuda ini melintas di hatinya. Kuliah anatomi lanjutan sedang berlangsung di siang yang terik. Dosen di depan kelas sebetulnya selalu menarik untuk didengar, tetapi ini bukan jam yang terbaik untuk duduk-diam. Hampir semua mahasiswa, 99,9%-nya lah (kecuali si Alex yang sepertinya tidak pernah mengantuk itu!) terlihat berjuang keras melawan kantuk. Alma pun sudah 7 kali menguap, dan sudah 11 kali melirik ke arlojinya. Lambat sekali jalannya jarum-jarum jam itu!

Devan... Alma tersenyum sendiri mengenang pemuda jangkung yang mengendarai jip CJ-7 dan selalu berkacamata pilot itu. Dia pasti sudah menunggu dengan sabar di pelataran parkir. Enak betul dia!.. kuliahnya selalu selesai sebelum pukul 12 siang. Apakah anak-anak ekonomi memang tidak banyak perlu mendengarkan dosen mengoceh di depan kelas? Apakah persoalan ekonomi selalu lebih ringan daripada persoalan badan manusia yang sakit?

Sore nanti pemuda itu kembali harus memimpin regu basketnya bertanding lawan anak-anak teknik. Alma tentu saja harus ada di pinggir lapangan, dan harus ikut berteriak-teriak sambil mengepalkan tinjunya yang kecil. Setiap kali bola masuk oleh Devan, maka Alma berteriak paling keras sehingga sering dicubit oleh Pasya, temannya sesama anak kedokteran yang sama-sama berpacaran dengan anak ekonomi. Bedanya, pacar Pasya tidak bisa main basket sepandai Devan, sehingga lebih sering duduk di bangku cadangan. Lebih menyebalkan lagi bagi Pasya, pacarnya selalu main di penghujung pertandingan, saat kesempatan menjaringkan bola sudah semakin kecil.

Alma tiba-tiba teringat sesuatu. Diambilnya tas dari kolong meja, dan dengan hati-hati ia mengintip ke dalamnya. Hmm,.. ternyata ia tidak lupa membawa tempat minum berwarna biru tua itu. Di dalamnya ia telah membuat air jeruk dingin yang manis dan segar untuk Devan. Tadi pagi ia sempat ribut karena jeruk yang telah disiapkannya ternyata dipindahkan oleh Mbok Iyem. Dengan panik ia mengaduk-aduk lemari es ketika tidak menemukan jeruk-jeruk itu. Baru setelah menjerit sana-sini, Mbok Iyem dengan tenangnya menyodorkan tas plastik penuh berisi jeruk. Huh!... hampir saja!

Alma baru saja meletakkan kembali tasnya, ketika Profesor Tasrif akhirnya kehabisan bahan pembicaraan. Dosen tua yang selalu berkemeja putih itu akhirnya menghentikan kuliahnya lebih cepat 2 menit dari jadwal yang seharusnya. Semua mahasiswa bernafas lega; terburu-buru Alma memasukkan buku dan alat tulisnya. Pasya di sebelahnya juga sudah bangun (dari tadi ia tertidur dengan dagu tertumpang di tangannya!), dan sudah berberes pula. Hebat sekali gerakan kedua gadis ini, serba cepat dan akurat. Pada saat mahasiswa lain masih merenggangkan otot-otot mereka setelah duduk 2 jam lebih, pada saat mereka masih dengan lesu memasukkan alat-alat tulis mereka, Alma dan Pasya sudah melesat keluar kelas. Hampir saja mereka menabrak Profesor Tasrif yang segera berseru, "Duh-duh-duh... tak kan lari gunung dikejar!"

Pasya cekikikan sambil berseru, "Sorry Prof!... Gunung yang ini bisa lari!"

Profesor Tasrif pun geleng-geleng saja sambil menghela nafas, teringat masa mudanya. Mana mungkin ia bisa berteriak begitu kepada profesornya yang orang Belanda itu!

*****

Devan melihat kedua gadis itu berlari kecil keluar dari gedung kuliah. Alma menuju tempat parkir, Pasya berbelok ke arah kantin. Senang sekali Devan melihat kekasihnya tampak riang. Baginya, Alma adalah burung lincah yang selalu ceria. Walau kadang-kadang ia terlihat ringkih dan letih, tetapi gadis itu selalu membinarkan cahaya kasih di matanya setiap kali mereka berjumpa. Dengan sigap Devan melompat turun dari jipnya, bersiap menyambut kekasihnya dengan wajah penuh senyum. Cepat sekali Alma sudah berada di depannya, dengan nafas terengah-engah dan butir-butir kecil keringat di ujung hidungnya.

"Sudah lama?" tanya Alma sambil membiarkan Devan meraih tas dari bahunya.

"Baru dua jam," kata Devan kalem sambil membuka pintu dan meletakkan tas di kursi belakang.

Alma tertawa mendengar jawaban itu. Betapa menyebalkannya menunggu dua jam.

"Sudah ma-em?" tanya Alma lagi sambil naik ke atas jip, dan sambil dengan manja membiarkan pinggangnya di rengkuh Devan yang membantunya naik.

"Sudah," kata Devan pendek, lalu disambung, "... tadi pagi."

Alma tertawa lagi. Betapa menyebalkannya menunggu dua jam dengan perut kosong!

Devan berjalan memutar untuk menuju sisi pengemudi. Alma mengikuti langkah kekasihnya dengan pandangan. Betapa kalemnya pemuda itu, tidak pernah mengeluh walau harus menunggu berjam-jam. He is sooooo cool! bisik hatinya. Sejak berpacaran, belum pernah sekalipun Alma mendengar Devan mengeluh atau mengomel. Bahkan ketika rombongan mahasiswa luarkota mengalahkan regunya dengan telak, Devan tetap saja kalem. Bahkan ketika Alma sedang tidak in the mood dan sedang uring-uringan, Devan tetap saja tenang. Seperti gunung, ia tegak-diam dalam teduh.

Ketika akhirnya Devan telah duduk di sisinya, Alma mengeluarkan bungkusan roti yang sudah ia siapkan dari rumah. Ia tahu Devan suka telur dadar, maka dibuatnya dua sandwiches berisi telur dan keju. Setelah membuka bungkusnya dengan hati-hati, Alma mengerat salah satu roti itu dengan tangannya. Lalu, ketika akhirnya mobil mulai bergerak, gadis itu menyuapi kekasihnya dengan sabar. Alma pernah melihat ibunya menyuapi ayah seperti ini, mesra sekali. Ia ingin seperti ibunya!

*****

Bulan September ini, genap dua tahun mereka berpacaran.

Sepulang dari bertanding basket yang berakhir dengan kemenangan anak-anak ekonomi, Devan mengantar Alma. Sebelum berpisah, Devan berjanji akan menjemput pukul 8 malam. Mereka akan pergi menonton malam ini, merayakan pertautan cinta mereka.

Dua tahun yang lalu, pada malam seperti ini pula, Devan mencium Alma di beranda yang temaram. Waktu itu bukan malam minggu, dan mereka baru saja pulang menghadiri sebuah rapat mahasiswa. Alma sebetulnya agak risih karena belum mandi. Tetapi sejak berteman dengan Devan yang ia kenal pada masa perploncoan itu, Alma merasa semakin dekat kepadanya. Devan lebih tinggi setingkat darinya, dan semasa penggojlokan yang meletihkan, Alma beruntung mendapat "dewa pelindung" yang kalem dan tidak banyak cing-cong itu. Mulanya Alma menyangka Devan akan mencari keuntungan dari kepolosan seorang gadis kota kecil. Tetapi dugaan itu segera sirna, karena justru akhirnya Alma yang mengambil keberuntungan darinya. Setelah perpeloncoan selesai, hubungan mereka berlanjut, dan semakin lama semakin dekat.

Nah,.. malam itu mereka berjalan diam-diam dari pintu pagar ke beranda. Rasanya jauh sekali beranda itu.... karena mereka berjalan bergandengan dan sama-sama sedang gundah menimbang-nimbang: sekarang atau nanti? Sudah berkali-kali mereka berjalan bergandengan seperti ini, dan sudah berkali-kali mereka merasa hanya berdua saja di dunia yang luas di bawah langit yang tak berbatas. Berkali-kali muncul pertanyaan itu di hati mereka: sekarang atau nanti?

Rupanya Devan lebih cepat mengambil keputusan. Ketika mereka tinggal dua langkah saja dari beranda, Devan menghentikan langkahnya dan menahan langkah Alma. Gadis itu sejenak merasakan tubuhnya lemas tak berdaya. Jantungnya berdegup keras dan hatinya masih penuh dengan pertanyaan: sekarang atau nanti? Tetapi lalu semuanya seperti sirna -keraguan menguap, kegelisahan melenyap- ketika Devan merengkuh dan memeluknya. Lalu pemuda yang penuh ketenangan itu mengangkat dagu Alma. Lalu pemuda itu mencium Alma. Lalu bintang-bintang seperti hilang dari langit, dan langit itu sendiri berubah menjadi bentangan beludru hitam yang maha luas.

Alma menyambut ciuman itu dengan sepenuh hati. Lembut sekali Devan menciumnya, mula-mula seperti memberi salam dengan menempelkan kedua pasang bibir mereka. Tetapi lalu berubah menjadi gairah, karena Alma membuka bibirnya yang ranum, dan Devan mengulum bibir itu. Dan mereka saling mengulum. Dan Alma merasa tubuhnya seringan embun di pagi hari yang melayang-layang di antara dedaunan. Indah sekali ciuman itu, memberikan getar-getar kecil di sekujur tubuh mereka, membuat keduanya seperti dua serangga yang bertukar madu.

"Mmmmh...," Alma mengerang dan melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda jangkung itu. Kedua kakinya juga terpaksa menjinjit untuk bisa dengan leluasa menikmati ciumannya.

Devan merengkuh gadis itu lebih erat lagi, memeluk pinggangnya dan mengangkatnya sedikit. Ringan sekali tubuh gadis ini, pikir Devan. Mungkin aku bisa mengangkatnya dengan sekali gendong, dan lalu melompat ke bubungan atap rumah.

Cukup lama mereka berciuman, sampai akhirnya Alma melepaskan diri untuk mengambil nafas. Devan merenggangkan pelukannya dan mereka berpandangan dengan jarak yang sangat dekat. Alma bisa melihat dua bola mata yang lembut memandangnya. Dari kelembutan itu datang pula kehangatan yang mampu menembus kalbu. Hidungnya yang mancung -karena Devan memiliki darah asing- terlihat jelas dan memberi ketegasan pada wajahnya yang gagah. Alma terpukau memandang wajah yang sejak lama dipujanya itu.

"Aku rasa kita sekarang sudah resmi pacaran," bisik Devan sambil tersenyum.

Alma menahan tawanya, "Kenapa baru sekarang kamu menciumku?" bisiknya.

"Lho.. seharusnya kapan?" kata Devan sambil membelalakkan matanya dengan lucu.

"Seminggu yang lalu," kata Alma sambil merapatkan pelukannya.

Devan mengernyitkan keningnya, "Seminggu lalu aku bertanding lawan anak-anak sosial-politik."

"Ya, memang. Kenapa tidak menciumku di belakang ruang ganti, sewaktu kita tinggal berdua saja?"

"Eh, tapi aku belum mandi, kan?" tanya Devan ragu-ragu.

"Sudah. Kamu sudah mandi. Sudah wangi. Sudah segar," kata Alma yakin.

"Oh, ya?. Tapi kamu, kan, belum mandi," kata Devan merasa terdesak.

"Sekarang malah kita berdua belum mandi!" sergah Alma sambil tertawa dan mempererat pelukannya.

Devan ikut tertawa. Lalu mereka berdua berpelukan saja, tidak melanjutkan ciuman. Mereka merapatkan saja kedua tubuh mereka, dan Alma memejamkan matanya menikmati degup jantung Devan yang dekat sekali di telinganya. Lalu dengan enggan mereka memisahkan diri dan akhirnya Devan pulang setelah mengucapkan selamat malam.

Tanggal delapan bulan kesembilan itulah Alma mengukir prasasti cinta keduanya di tengah galau-semarak kampus, di belantara beton ibukota yang hiruk-pikuk. Inilah prasasti yang jauh berbeda dari gita cinta yang ia nyanyikan di tengah keasrian-keteduhan kota kecil di lingkung bukit tempat cinta pertamanya dulu bersemi.

*****

Film yang mereka tonton tidak terlalu bagus. Bahkan semakin menyebalkan di tengah-tengahnya, sehingga Alma memaksa Devan keluar dari bioskop sebelum film usai. Sebagian penonton juga tampaknya memiliki pikiran yang sama. Sepasang kekasih itu pun akhirnya keluar.

"Film-nya nggak seru!" sergah Alma dengan sebal sambil menggamit lengan Devan.

"Ceritanya terlalu bertele-tele, sutradaranya mungkin baru belajar" kata Devan kalem. Heran! pikir Alma, kekasihku ini selalu berkomentar dengan tenang, walaupun isi komentarnya bisa juga pedas.

"Sutradaranya bego!" sergah Alma memancing emosi Devan. Ia ingin tahu, seberapa tegar kekasihnya ini.

"Mungkin baru lulus akademi sinematografi," jawab Devan kalem.

"Yuk, kita minta lagi duit karcis kita. Sebel betul, deh rasanya harus membayar mahal untuk film kampungan!" ucap Alma senyinyir mungkin.

"Bukan salah bioskopnya, dong," kata Devan dengan nada yang sama. Tidak sedikit pun menampakkan emosi.

"Habis, salah siapa? Salah kita?" sergah Alma sambil mengguncang-guncang lengan kekasihnya.

"Ya," jawab Devan membiarkan tangannya diguncang-guncang. Apalah artinya guncangan Alma dibandingkan tabrakan-tabrakan full body contact di pertandingan basket!

"Ngga mau!" kata Alma seperti anak kecil kehilangan permennya, "Kamu aja yang salah. Aku ngga!"

"Ya, sudah. Maaf," kata Devan sambil mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Mereka sudah memasuki pelataran parkir.

"Ih, sebel!" sergah Alma, lebih kepada dirinya yang gagal membangkitkan emosi Devan daripada kepada siapa-siapa.

Devan tertawa kecil mendengar dan melihat tingkah Alma. Dia tahu, gadis itu memancing emosinya. Tentu saja dia bisa menahan emosi, karena dia tahu dirinya sedang dipancing!

"Nanti kita beli permen coklat, supaya kamu ngga sebel lagi," kata Devan kalem. Alma tertawa kecil, tahu bahwa permainannya berakhir dengan kekalahan di pihaknya. Dengan gemas dicubitnya pinggang Devan yang cuma bergeming sedikit.

"Aku ngga mau coklat," sergah Alma manja sambil memeluk pinggang kekasihnya, "Aku mau dicium yang lamaaaaaaaaaaaa... sekali!"

Devan cuma tersenyum mendengar permintaan itu.

*****

Mereka pergi ke pinggir pantai dan Devan memarkir mobilnya menghadap laut yang berdebur-debur dalam gelap. Bulan sedang mati dan mendung menutupi sebagian besar bintang di langit. Suasana sepi memicu romantisme pada siapa pun.

Devan mencium Alma lama sekali, sesuai permintaan gadis itu. Mereka pindah duduk ke kursi belakang, dan dengan manja Alma menyandarkan tubuhnya di dada kekasihnya. Satu tangannya memeluk pinggang Devan, dan satu tangan lainnya merengkuh leher pemuda itu. Devan menopang kepala gadis itu dengan tangannya yang kukuh, sementara tangan yang lain bisa bergerak leluasa.

Mereka sering ke tempat ini untuk bercumbu, dan sering terlibat dalam heavy petting yang mengasyikkan. Alma selalu suka dibawa ke sini, direngkuh oleh pemuda atletis ini, dicium dan dikulum selama-lama mungkin. Terlebih-lebih lagi, Alma selalu menikmati tangan Devan yang mengelus-meraba sekujur tubuhnya. Pemuda itu dengan perlahan dan penuh ketenangan selalu berhasil membangkitkan gairah asmaranya, membawanya ke puncak kegairahan.

"Hmmmmm...," Alma mengerang sambil menggeliatkan badannya ke kiri ketika tangan Devan menelusupi dadanya, masuk ke bawah behanya yang telah longgar karena kaitnya telah terlepas. Sebuah serbuan kenikmatan memenuhi dada gadis itu, membuat kedua payudaranya langsung membusung-menggembung penuh antisipasi. Apalagi dengan satu jarinya pemuda itu mengelus-elus daerah di sekitar puncak payudaranya....... Oh, Alma mengerang dan mengerang lagi dengan mulut yang masih dipenuhi ciuman kekasihnya.

Semakin lama elusan dan rabaan tangan Devan semakin menimbulkan nikmat luarbiasa di diri Alma. Gadis itu bergerak-gerak gelisah dalam pelukan kekasihnya, mengucapkan kata-kata yang tak jelas karena bibirnya sedang dilumat oleh pemuda itu. Tetapi, walau tak jelas, Devan bisa menangkap permintaan kekasihnya. Ia meremas dada Alma, karena ia tahu gadis itu ingin diremas. Ia mengurut-urut puncak payudara Alma, karena ia mengerti apa yang dimau gadis itu.

"Oooh, ...Dev.." akhirnya Alma bisa mengerang dengan cukup jelas karena mereka harus melepaskan ciuman untuk mengambil nafas.

"Kamu senang?" bisik Devan dengan nafas memburu. Ia sendiri sangat senang meraba-meremas dada Alma yang menggairahkan itu. Tetapi ia merasa perlu bertanya, memastikan apakah kekasihnya juga menikmati permainan ini. Bukankah ia berkewajiban memberinya kenikmatan terlebih dahulu... ladies first?

Alma tidak menjawab. Ia terlalu bergairah untuk bisa menjawab. Tetapi ia mengangkat tubuhnya, membawa dadanya ke muka pemuda itu lebih dekat lagi. Ia lalu mengerang dan menarik kepala Devan ke dadanya. Ia meminta sesuatu yang lebih dari sekedar remasan dan rabaan. Devan pun mengerti sepenuhnya, karena ini bukanlah yang pertama. Dengan ujung lidahnya, ia memenuhi permintaan kekasihnya dan Alma pun mengerang keras sambil memejamkan matanya merasakan kenikmatan yang panas memercik di puncak payudaranya. Ia meremas gemas rambut pemuda itu, meminta lagi dan lagi. Ia terus mendaki semakin tinggi di bukit birahi yang kini tampak menerjal itu. Devan pun memberikan dukungan bagi pendakian ini dengan mengulum dan menggigit kecil.

"Aaah!" Alma mengerang keras ketika merasakan payudaranya seperti hendak meletup oleh rasa geli-gatal yang tak terperi. Sebentuk energi yang mendesak-desak kini terkumpul di tubuhnya, meriak-riak dari dadanya ke perutnya, ke pinggulnya, ke pahanya, ke kakinya.

Lalu secara instingtif Alma meraih tangan kekasihnya yang masih bebas, mendorong tangan itu ke bawah sambil membuka kedua pahanya. Devan pun mengerti permintaan yang satu ini. Ia pun menyingkap rok kekasihnya, menelusupkan tangannya untuk meraba paha yang mulus dan halus itu. Telapak tangannya bagai meluncur di atas pentas sutra yang licin, lancar sekali merayap dari lutut ke pangkal paha, lalu ke celah yang terbalut oleh kain tipis menerawang itu.

"Mmmmhhh ....," Alma mendesah gelisah, "Aku pengin Dev.......,"

Devan mengangkat mukanya dari dada Alma. Gadis itu memandangnya dengan mata berbinar penuh birahi dan permohonan. Devan mengecup pipinya sambil berbisik, "Buka?"

Alma mengangguk dan mendesahkan "ya" yang nyaris tak terdengar. Gadis itu membuka pahanya lebih lebar, membiarkan kekasihnya menarik celana dalamnya dan meloloskannya dari kedua kakinya. Kini tubuhnya di bagian bawah terbebas sudah dari segala kukungan. Kini ia membuka dirinya untuk sebuah kenikmatan yang sudah beberapa kali ini diberikan oleh Devan pada malam-malam seperti ini.

"Kamu juga mau, kan?" desah Alma sambil merapatkan pelukannya.

"Kamu saja dulu," bisik Devan sambil mulai mengusap-usap lembut di bawah sana. Alma bagai tersentak ketika telapak tangan yang hangat itu menekan-mengusap bagian paling pribadinya.

Lalu mulailah permainan-permainan kecil yang mengasikkan itu. Alma membiarkan tubuhnya rileks tersandar di tangan Devan yang kokoh, menelentang bebas di sepanjang jok belakang itu, membiarkan kekasihnya membangkitkan sebuah crescendo musik sensual di tubuhnya. Matanya setengah terpejam. Mulutnya setengah terbuka karena hidungnya tak cukup leluasa menampung nafasnya yang memburu. Wajahnya tampak bersinar indah ketika ia mulai mendaki puncak asmara. Dadanya yang telanjang tampak turun-naik dengan bergairah.

Dengan sabar Devan menggunakan jemarinya untuk membawa Alma ke lautan birahi yang bergelora-bergelombang. Pertama ia hanya mengusap-usap saja di bagian atas dan permukaan, menyebarkan kehangatan sambil mengendurkan otot-otot Alma yang tegang. Setelah gadis itu benar-benar rileks terbuai usapannya, barulah Devan menelusup-menelusur dengan jari-jarinya. Mudah sekali melakukan hal itu, karena lembah sempit di bawah sana telah basah-licin oleh cairan-cairan cinta yang mengalir lamat-lamat dari sumbernya.

Alma mengerang lagi, semakin lama semakin keras. Devan menciumnya, mengulum bibirnya yang basah dan menghirup nafasnya yang hangat itu. Seakan-akan, dengan mencium Devan ingin memberi bantuan pernafasan agar kekasihnya bisa mencapai puncak kenikmatan. Sementara tangannya kini tak lagi cuma mengusap atau menelusup-menelusur. Melainkan, tangan itu kini bergerak menggosok-mengurut dengan cepat. Semakin lama semakin cepat. Semakin bergelinjang-bergeletar pula lah tubuh Alma. Suara erangannya memang terbungkam oleh ciuman Devan, tetapi tetap keluar dalam bentuk jeritan-jeritan terputus.

Lalu Alma tiba di puncak asmara yang tinggi itu. Ia mengerang panjang sebelum sejenak berhenti bergerak karena ia meregang dan tangannya mencengkram jok mobil. Devan mengurut-menggosok lebih kuat. Alma mengejang dan melentingkan tubuhnya, lalu...

"Dev!" gadis itu menjerit kecil, "Aaaaaaaaaaah!"

Tubuhnya bergetar hebat, menggelepar kuat di bawah pelukan kekasihnya yang dengan sekuat tenaga menjaga keseimbangan. Lama sekali Alma menggelepar dan meregang menikmati orgasme yang panjang bertalu-talu itu. Puas sekali Alma menjejak puncak tinggi yang kini menjanjikan puncak-puncak berikutnya. Dikepitkannya kedua kakinya, seakan dengan begitu ia bisa mencegah tangan kekasihnya meninggalkan lembah kewanitaannya. Karena ia ingin mendaki lagi, kali ini bersama-sama Devan. Ia ingin juga ikut meremas dan mengurut, memberikan kenikmatan setelah menerimanya.

Dan malam pun semakin pekat dengan gelora asmara, mendung semakin menebal, lalu hujan mulai turun. Mobil mereka terkurung air yang bagai dicurahkan dari langit. Tentu saja mereka tak peduli, karena kini mereka bersama-sama mendaki. Bersama-sama memberikan dan menerima. Erangan mereka lenyap ditelan gemuruh hujan dan debur ombak.

******

Hubungan keduanya semakin mengarah ke penyatuan yang sepenuhnya setelah Devan membawa Alma menemui kedua orang tua dan kakak-kakaknya. Seperti yang telah pemuda itu duga sebelumnya, Alma pasti dengan mudah bisa diterima di keluarganya. Gadis itu punya kharisma khusus yang membuat keluarga Devan langsung menyukainya. Salah seorang kakak perempuan Devan -yang minta dipanggil Kak Nana- bahkan mengusulkan sebuah pertunangan sebagai langkah menuju perkawinan. Alma tersipu saja dengan pipi merah. Devan duduk tenang seperti tak mendengar apa-apa. Orang tua Devan mengusulkan agar mereka berdua belajar dulu yang rajin sampai merasa cukup untuk melanjutkan hubungan.

Justru pada saat seperti itulah, ketika pertungangan dibicarakan dan pernikahan dicanangkan, Alma menemukan sekeping masa lalunya di diri Mba Rien. Ia membaca sebuah majalah yang sampulnya berhiaskan wajah wanita itu. Cantik sekali ia, sergah Alma dalam hati. Sejenak ia ragu, apakah bijaksana jika ia mencoba menemui wanita yang kini sangat terkenal itu. Tetapi entah kenapa ia merasa harus menemui wanita itu. Entah kenapa ia tiba-tiba dipenuhi nostalgia tentang kota kelahirannya. Maka dengan nekad ia datang ke tempat shooting tanpa diantar Devan. Dengan nekad pula ia membujuk seorang asisten Mba Rien untuk membawa fotonya sewaktu di SMA untuk ditandatangani. Ia berharap, foto itu bisa mengingatkannya pada sebuah kota kecil nun di sana. Dan ia berhasil.... (lihat cerita Rien: Tarian Sepenuh Jiwa).

Tetapi keberhasilan itu musti dibayar mahal.

Di kamarnya, sepulang dari bertemu dengan Mba Rien, Alma tercenung. Nama Kino muncul kembali di hatinya, dan dengan gelisah ia mulai membongkar buku-bukunya. Ia ingin menemukan surat yang tak pernah sempat ia kirimkan dulu. Lama sekali ia membongkar dan mencari, sampai akhirnya, menjelang tengah malam, ia menemukan surat itu masih tersampul rapi. Dengan agak gemetar, Alma merobek sampul itu dan membaca isinya...

Kino sayang...,

Lama sekali Alma tidak berkirim surat, dan lama pula suratmu tidak datang. Sudah hampir empat bulan ini kita tak saling berkabar. Alma sendiri tak tahu, mengapa jarak yang memisahkan kita kini semakin jauh rasanya. Kita semakin jauh melangkah ke tujuan yang tak berpapasan. Suratmu yang terakhir pun sangat pendek, seakan ada keengganan di dalamnya. Alma pun tak bergairah membacanya, dan tak punya keinginan menjawabnya. Berbeda sekali dengan dulu.

Sebentuk pedih tiba-tiba menyekat di kerongkongan Alma. Ia berhenti membaca untuk menghela nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengisi dadanya dengan keteduhan, tetapi gagal. Setitik air menggeliat keluar dari sudut matanya. Dengan segala daya, Alma mencoba terus membaca...

Alma harus mengakui, Alma kini sudah berbeda, walaupun tidak bisa menjelaskan mengapa orang bisa berubah setelah terpisah. Mungkin alam memang penuh kuasa, dan ibukota telah mengubah Alma, membuat Alma tak lagi gundah memikirkan kamu. Tak lagi bersemangat mencari tahu tentang keadaanmu. Alma sudah bukan yang dulu lagi, Kino sayang.

Pandangan Alma mengabur oleh air yang menggenang di kedua matanya. Ia berhenti membaca, meraih tisu dari meja, dan menghapus airmatanya. Tak urung, setetes air sempat jatuh di atas kertas surat, tepat di atas kata "sayang", membuat kata itu tak terbaca lagi. Dengan gundah, Alma lalu melanjutkan membaca...

Alma juga merasa ada yang berubah pada dirimu, walaupun tidak tertulis di surat. Alma merasakan hubungan kita semakin dingin. Kata-katamu tidak lagi mesra dan ceritamu tidak lagi menarik untuk dibaca. Terakhir kamu berkirim surat, malah ada nama-nama gadis yang tidak Alma kenal. Ada Rima, ada Indi. Siapa mereka? Betulkah mereka cuma teman-teman biasa?

Alma menarik nafas panjang dan melepaskannya dalam hempasan. Ia ingat, surat Kino yang terakhir itu membuatnya marah, tetapi tak tahu kenapa musti marah. Saat itu ia sudah mulai erat berhubungan dengan Devan dan sudah mulai tertarik oleh pemuda itu. Justru ia sendiri yang tidak pernah menyebut nama teman-temannya, karena toh tampaknya Kino tidak begitu peduli.

Alma juga punya sahabat-sahabat baru di sini. Ada Devan, ada Pasya, Abimanyu, Ollie, Tami, dan Kris. Salah seorang di antara mereka, Devan, sangat baik dan Alma menyukainya. Alma minta maaf karena baru menyatakannya sekarang. Tetapi entah kenapa, sulit sekali Alma menulis surat akhir-akhir ini. Alma selalu harus memaksa diri untuk menulis. Kali ini Alma merasa harus menyampaikannya.

Alma tersenyum kecut membaca baris ini. Surat tak pernah sampai, bagaimana mungkin Kino mengetahui segalanya yang kini sudah berlangsung dua tahun? Tetapi, apa pula reaksinya? Ia bahkan berhenti menulis surat sama sekali. Tidak ada selembar pun kabar darinya, atau permintaan kepada aku untuk menulis. Ia tidak peduli, bukan?

Kino sayang,... agaknya kita memang harus berpisah. Lupakan Alma, dan belajarlah lebih giat lagi supaya semua cita-citamu tercapai. Alma yakin, kamu pasti akan menjadi arsitek terkenal di masa depan. Alma berdoa semoga kamu selalu berhasil dalam hidup. Maafkan Alma, dan maafkan pula semua yang pernah Alma lakukan terhadapmu.

Alma tercenung kelu setelah membaca surat itu. Betapa tragisnya akhir cinta pertamanya yang berujung pada kebimbangan. Semua pesan yang telah ditulisnya dengan berderai airmata (ia ingat sekali saat itu hatinya hancur berkeping-keping!) tak pernah sampai ke tujuan. Semua keputusan dan permintaan maafnya tak pernah tiba di tangan Kino. Apa yang ada di benak pemuda itu pun ia tak pernah tahu. Apakah ia sudah tahu? Apakah ia punya mata-mata di sini yang memberinya informasi rahasia?

Terlebih-lebih lagi, Alma kini bertanya dalam hati: apakah Kino masih mencintaiku? Atau apakah benar selama ini ia mencintaiku? Apakah aku sendiri mencintainya?

Pada pertanyaan yang terakhir ini, Alma tak sanggup menahan tangisnya. Karena ia tahu persis jawaban dari pertanyaan itu. Ia tahu persis bahwa cinta pertamanya adalah kepada seorang pemuda bermata lembut yang selalu gundah dan penuh kebimbangan itu. Ia tahu setahu-tahunya, mengerti semengerti-mengertinya bahwa cinta pertama itu sangat indah dan menawan. Ia mengenang dengan pedih lambaian tangan pemuda itu dan senyumnya yang manis tetapi penuh kepasrahan. Ia mengenang perlakuan pemuda itu kepadanya, cara pemuda itu melindunginya, menggandeng tangannya meniti tepian sungai....

"He's my hero...," bisik Alma sambil menahan sedu.

Tetapi, sebagaimana layaknya semua pahlawan, Kino akan menjadi monumen di bentang kehidupan Alma. Ia akan menjadi kenangan manis yang tak terlupakan, namun ia adalah semata kenangan. Sebuah noktah yang berbinar paling terang di antara noktah yang lain, tetapi ia tetaplah noktah.

Sampai menjelang pukul dua pagi, Alma masih tersedu. Lamat-lamat ia mendengar sebuah nyanyian di hatinya. Sebuah lagu yang dulu sering mereka senandungkan bersama di tengah suasana perkemahan...


Mem'ries.... light the corners of my mind.... Misty water color memories, of the way we were
Scattered pictures..., of the smiles we left behind... Smiles we gave to one another, for the way we were
Can it be that it was so simple then.... Or has time rewritten ev'ry line.... If we had the chance to dot it all again... Tell me would we... Could we......
Mem'ries....... may be beautiful and yet.... what's too painful too remember, we simply choose to forget... So it's the laughter we will remember... Whenever we remember... The way we were

Lalu kantuk datang menyergapnya, memberi kedamaian yang meletihkan. Memberikan pengampunan kepada kepedihan dan ketakberdayaan. Bagai payung raksasa, ufuk memerah di langit di luar kamar. Alma tertidur di atas bantalnya yang basah....

0 komentar:

 

Blog Saru © 2008 using D'Bluez Theme Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez Based on FREEmium theme