22 April 2009

Selamat Datang Kesendirian

Tujuh hari tujuh malam Kino dirawat intensif di paviliun khusus, sebelum akhirnya dokter memperbolehkannya pindah ke ruang lain untuk pasien yang berada dalam proses penyembuhan. Dari tujuh hari itu, hanya dua kali ia bertemu dengan bidadari pujaannya. Satu kali saat Trista dan Alma berdua menjenguknya (cerita sebelumnya), dan sekali lagi menjelang kepindahannya ke bangsal umum.

Kunjungan teman dan sahabatnya jauh lebih gencar. Begitupula Ibu dan Susi telah datang menjenguk, dan bahkan telah pulang kembali karena Susi harus sekolah. Ayah sudah sempat pulang, dan kini kembali lagi untuk bergantian menunggui Kino. Demikian pula Indi menengok hampir tiap hari sepulang sekolah, masih berseragam, dan masih penuh dengan gosip seru tentang teman-teman sebayanya. Rima juga datang, terkadang bersama Tigor, terkadang bersama Ridwan.

Semua kunjungan ini membuat Kino riang dan mempercepat kebugarannya. Tetapi, tak ada yang lebih dirindukannya daripada kunjungan Trista. Setiap kali jam bezoek, Kino berharap bidadarinya akan muncul. Tetapi ia seringkali kecewa. Perlahan-lahan datang sebuah kesadaran yang memerihkan di hatinya: Trista sedang membuat sebuah jarak. Setiap menjelang tidur, kesadaran ini mencuat perlahan tetapi pasti. Mimpi Kino pun dipenuhi gundah.

Pada kunjungan kedua, Trista berwajah sangat murung. Kino langsung bisa menduga bahwa sesuatu yang dramatis akan terjadi lagi dalam kisah kasih mereka berdua. Ia bahkan sudah merasakannya begitu wajah wanita kesayangannya itu muncul di pintu kamar. Walaupun Trista tersenyum dengan seluruh kesempurnaan senyumannya, Kino tetap bisa melihat kabut menyaput kedua matanya yang bening mempesona itu.

"Jangan bicara dulu....," bisik Kino lirih ketika Trista telah duduk di bangku dekat kepala ranjang, dan ketika bidadarinya itu sedang bersiap membuka mulutnya.

Trista menutup mulutnya lagi, memandang diam dan lekat ke mata kekasihnya. Mereka berpandangan. Lalu Kino mengangkat tangannya yang kini jauh terasa lebih kuat daripada seminggu lalu. Trista membiarkan telapak kekasihnya membelai pipinya dengan lembut. Inilah pertama kalinya pemuda itu menyentuhkan lagi kerinduannya setelah terbaring tak berdaya. Dan betapa saratnya sentuhan itu oleh rasa, oleh kangen. Seperti selimut hangat membalut tubuh di pagi dingin. Seperti embun dingin turun membasuh siang terik. Ah... Trista memejamkan matanya yang tiba-tiba terasa perih.

"Jangan menangis...," bisik Kino, sambil membelai pipi yang halus mulus bak pualam itu.

Trista memaksakan sebuah senyuman sambil membuka matanya. Senyuman itu manis sekali. Tetapi tak urung, kedua bola matanya telah tersaput air bening tipis, membuat pandangannya berkilauan seperti air laut disinari mentari. Kino membalas senyuman itu sambil terus membelai pipi Trista, sambil berbisik dalam hati: dikau tak luput dari duka hanya karena cinta yang tak seyogyanya. Patutkah itu, atau tidak?

Trista menahan dorongan duka yang menggumpal di dadanya sekuat tenaga. Dicarinya sumber-sumber kedamaian di seluruh wajah Kino, terutama di kedua matanya yang memandang penuh sayang. Hatinya menjerit ramai walau bibirnya terkatup rapat: mengapa aku biarkan kamu datang ke oasis di tengah kerontangnya kehidupanku; membiarkan kamu mereguk air-air cintaku untuk dahaga mu; membiarkan kecambah kasih bersemai jadi pohon cinta berdaun-lebat berakar-dalam berbatang-kokoh! Mengapa?!

Kalau ia pergi, bisik Kino dalam hati, maka terbenamlah sudah semua matahari di semua hari. Hidup ini akan seperti malam yang teramat panjang dengan mimpi yang teramat buruk. Entah kenapa, aku yakin ia akan pergi, dan aku akan terus bertanya 'mengapa'. Terus bertanya sampai datangnya kembali pagi. Mungkin juga tak akan ada pagi itu. Mungkin juga 'mengapa' itu akan berubah menjadi 'mengapa 2' lalu menjadi 'mengapa 3' dan seterusnya, sampai 'mengapa sewindu'.

Trista merasakan tangan Kino meraih tengkuknya. Tanpa peduli pada kemungkinan terpergok, wanita itu membungkukkan tubuhnya dan membiarkan kekasihnya mengulum bibirnya. Betapa nikmat mencium bibir orang terkasih yang hampir terenggut maut, bisik hatinya. Betapa perih pula jika diingat bahwa mungkin inilah ciuman terakhir. Maka Trista menikmati sekali ciuman itu, yang tidak sama sekali berisi apa-apa, selain selaksa rindu belaka. Keduanya memejamkan mata, menikmati pertautan lembut yang hangat dan dalam merasuk ke sendi, sumsum, jaringan saraf dan sel-sel tubuh. ... Inilah pula pertautan jiwa yang seperti dua python saling membelit-merangkul, meluluh lantakkan wadah fisik. Inilah angin puyuh yang menerbangkan dua manusia lebih tinggi dari terbangnya camar.

Ciuman mereka terlepas setelah keduanya kehabisan nafas. Trista terengah. Kino merasa dadanya sesak.

"Aku rindu sekali....," bisik Trista di tengah nafasnya yang memburu.

Kino tersenyum sambil mengatur debur jantungnya, "Aku rindu seribu kali!"

"Gombal!" desah Trista sambil merebakkan senyumnya.

"Kamu cantik sekali...," bisik Kino.

"Seribu gombal!" bisik Trista sambil membungkuk kembali dan mencium lagi kekasihnya. Tidak baik menunda kerinduan! sergahnya dalam hati.

Kino melumat habis-habisan bibir merah basah yang mungkin memang diciptakan untuk dilumat olehnya itu. Trista membuka mulutnya mengundang kekasihnya untuk menjelajah lebih dalam, memberikan semua kerinduannya. Desah nafas mereka saling bersusulan, terdengar jelas di kamar yang sepi karena memang sedang tidak ada penjenguknya selain Trista. Kalau saja tidak terdengar langkah sepatu suster yang membawa obat untuk Kino, mereka mungkin tak akan berhenti berciuman sampai waktu bezoek usai!

"Kenapa harus murung?" bisik Kino begitu suster pergi setelah membantu pasiennya meminum obat.

"Kamu sudah tahu jawabnya," bisik Trista sambil menyorongkan duduknya sehingga kedua muka mereka kini sangat dekat, nyaris tak berjarak.

"Masih dengan rencana semula? Ke London?" tanya Kino sambil menelusuri dagu Trista dengan telunjuknya.

Trista mengangguk pelan, menunggu sampai jari Kino dekat ke bibirnya, lalu menangkap jari itu dan menghisapnya seperti seorang yang mendapatkan sedotan untuk minuman dingin kegemarannya.

"Jauh sekali...," kata Kino, membiarkan lidah Trista yang hangat dan basah bermain-main dengan jarinya.

Trista melepaskan jari Kino yang kini basah itu. Lalu dengan tangannya, ia membawa jari itu turun ke dadanya, sambil berucap pelan, "Tidak Kino. Kamu ada di sini.... dekaaaaaaat sekali."

Trista memakai kemeja berkancing di depan. Jari Kino dibawa masuk lewat salah satu celah sehingga kini jari itu menyentuh lembah di antara kedua payudaranya.

Kino menghela nafas dalam-dalam dan menghempaskannya dalam hembusan kuat, "Kita selalu berusaha lari dari kenyataan. Kita akan terpisah jauh, Tris. Betapa pun cinta kita kuat perkasa, mana mungkin bisa mengalahkan samudra dan benua."

Trista mendekapkan seluruh lengan Kino di dadanya, "Biar bukan kenyataan. Aku tidak peduli. Kamu ada di sini dan tak akan pernah jauh dariku!"

"Seluruh kisah kita seperti tak ada yang nyata," keluh Kino sambil merasakan debur jantung kekasihnya di punggung tangan.

"Tak mengapa. Nyata atau maya, cinta kita tetap indah!" sergah Trista bersemangat, tetapi kini matanya mulai berlinang.

"Apa gunanya keindahan kalau aku tak bisa lagi melihat senyummu."

"Kamu tak memerlukan senyumku, Kino. Kamu memerlukan masa depan yang lebih cemerlang daripada bercinta dengan seseorang yang telah bersuami!"

"Itu tidak adil."

"Siapa bilang hidup ini harus selalu adil."

"Seharusnya cinta melahirkan keadilan."

"Tetapi hidup tidak cuma berisi keharusan."

"Aku akan kehilangan kamu. Itu, kan, sebuah keharusan .... " bisik Kino sambil memalingkan muka memandang ke luar jendela. Langit tampak biru bersih. Beberapa burung terbang melintas berpasangan.

Trista menelungkupkan mukanya di telapak tangan Kino, menangis tanpa bisa ditahan lagi. Kino membiarkan air mata membasahi telapaknya, membanjir turun sepanjang lengannya, tumpah perlahan di seprai putih rumahsakit.

"Marah, lah, padaku Kino...," bisik Trista di tengah sedu-sedannya.

"Tidak mungkin bisa...," sahut Kino.

"Aku tidak mencintaimu lagi!" sergah Trista. Sebuah upaya sia-sia .....

Kino melepaskan tangannya dari dekapan kekasihnya. Dengan tangan itu pula Kino meraih kepala kekasihnya, mendekatkan mukanya yang basah, lalu mencium pipinya yang terasa asin oleh air mata. Trista semakin tersedu. Bahunya berguncang hebat.

"Pulanglah, Tris. Aku letih sekali...," bisik Kino.

Trista mengangguk pelan sambil menarik mukanya. Susah payah ia melawan sedu-sedan yang melanda tubuhnya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Berkali-kali ia melakukannya sambil memejamkan mata. Kino meraih tissu dan menghapus air mata dari muka kekasihnya. Ingin sekali ia menciumi wajah itu hingga kering, tetapi ia menahan diri sekuat tenaga. Kalau ia mencium lagi, kesedihan akan tambah teruntai.

Secepat mungkin Trista bangkit. Tubuhnya agak terhuyung. Sekali lagi ia memandang Kino yang berbaring lesu di ranjangnya. Lalu, sambil menarik nafas dalam-dalam untuk yang kesekian kalinya, wanita cantik itu memutar tubuhnya. Kino cepat-cepat memalingkan mukanya ke arah jendela lagi, mencoba menikmati birunya langit. Terdengar langkah Trista menjauh dengan cepat, lalu bahkan terdengar wanita itu berlari-lari. Semakin lama suara langkahnya semakin sayup. Lalu hilang sama sekali.

Langit biru seperti pemandangan dari puncak gunung. Kino menerawangkan pandangannya sejauh mungkin. Ia ingin menembus langit itu untuk bertanya kepada siapa pun yang ada di sana. Tetapi tubuhnya terasa letih dan pikirannya terasa kosong. Ia bahkan tidak bisa lagi menyusun pertanyaan yang akan diajukan.

Tiga jam kemudian, Kino tertidur tanpa menyentuh nasi yang tersedia untuk makan siangnya.

*******


Kekasih menggamit lenganku meniti hari-hari satu
meninggalkan jembatan kalbu jauh di relung-relung rindu
mengapa begitu
mengapa menggandakan duka setiapkali kita bercinta
Kekasih melepas genggaman meniti hari-hari satu
melayari lautan cinta yang tak pernah berhenti berombak
lalu angin tiba-tiba mati
siapakah kita yang selalu mengoyak-oyak mesra
merenda-renda rasa tanpa pernah bisa menata
Kekasih pergi
sendiri mendera hari-hari yang tak berujung
Kekasih pulang
sendiri menggurat malam-malam yang tak berpangkal
Lalu segalanya seperti tak pernah ada
Mengapa begitu?

*******

Itulah terakhir kali Kino melihat Trista.

Seminggu setelah itu, dokter Rudy memperbolehkan pasiennya pulang, tetapi dengan anjuran untuk beristirahat satu atau dua bulan. Luka di kepala Kino memang sudah sembuh, tetapi gegar otak yang ditimbulkan akibat benturan dengan aspal ternyata tidak tergolong ringan. Pemuda itu harus mengurangi aktifitasnya dan beristirahat total. Bahkan berpikir keras pun tidak dianjurkan oleh dokter Rudy.

"Saya rasa Kino harus meninggalkan kuliah, setidaknya satu semester ini," kata dokter Rudy sambil menulis secarik resep. Ayah Kino patuh mendengarkan, dan setuju pada anjuran dokter anaknya itu. Ia memang telah memutuskan untuk membawa Kino pulang, merawatnya di kota kelahirannya yang kecil dan asri. Kino pun setuju untuk menghabiskan satu semester di kota kelahirannya, dan baru akan melanjutkan kuliah di semester berikutnya.

Rima datang menjenguk beberapa kali bersama Ridwan dan Tigor. Lalu mereka juga ikut mengantar Kino dan Ayahnya ke stasiun kereta-api.

"Selamat jalan, Kino. Cepat sembuh, yaa..," bisik Rima sambil mencium pipi sahabatnya.

"Thanks..," bisik Kino sambil merangkul gadis tomboy yang tampak cantik dalam kesenduan perpisahan ini, "Jangan lupa naik gunung sebulan sekali..."

Rima tertawa kecil, lalu menyingkir memberikan tempat kepada Ridwan yang mengucapkan perpisahan dengan memeluk sahabatnya.

"Sehabis ujian kami akan menjengukmu!" kata Ridwan.

"Aku tunggu!" jawab Kino sambil balas memeluk.

"Nanti kau ajaklah aku naik gunung di daerahmu!" kata Tigor sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Suara baritonnya terdengar gagah, walau tak juga bisa menyembunyikan kesedihannya harus berpisah dari Kino.

Indi berdiri agak jauh dari kumpulan sahabat yang saling berangkulan mengucapkan salam perpisahan itu. Kino memanggilnya mendekat. Gadis centil itu langsung memeluk pinggang "kakak"-nya, membuat Rima, Ridwan dan Tigor tertawa.

"Kamu sepertinya pengin ikut, deh!" sergah Rima sambil mencubit pipi Indi. Rima tahu bahwa si centil ini "naksir berat" pada Kino, tetapi tidak tahu seberapa jauh keduanya berhubungan. Hanya Tigor yang tahu "rahasia" Kino tentang Indi, dan pemuda itu adalah seorang yang taat menyimpan rahasia!

"Boleh, ngga?" kerling Indi dengan genit sambil lebih menyandarkan tubuhnya ke Kino.

"Wah! Repot kalau bawa kamu, nDi... susah ngurusin-nya!" kata Kino sambil menahan berat tubuh si centil.

"Ah, ngga repot, dong....," sela Ridwan, "Lepasin saja di lapangan. Dia, kan, bisa cari makan sendiri..."

"Emang-nya kambing dilepas di lapangan!" jerit Indi sambil mencubit Ridwan. Yang lainnya tertawa terbahak.

Kino ikut tertawa bahagia. Sejenak ia bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang penuh perhatian. Sejenak ia lupa Trista yang kini mungkin sudah sibuk mencari baju dingin untuk persiapan winter di London. Tetapi segalanya cuma sejenak. Setelah selesai tertawa, tiba-tiba bayangan wajah Trista muncul lagi. Tiba-tiba pula dadanya dipenuhi rasa sedih.

Pengeras suara mengumandangkan panggilan untuk para penumpang. Kino menghela nafas panjang, lalu mengucapkan selamat tinggal sekali lagi. Indi masih merangkul pinggangnya dengan mata agak basah.

"Kalau kamu nangis, aku ngga mau kirim surat, lho!" ancam Kino sambil mulai melangkah menuju gerbong menyusul Ayah.

Indi melepaskan rangkulannya. Cepat-cepat pula ia menghapus matanya dengan punggung tangan dan berseru, "Ngga! Indi ngga nangis kok!"

Kino mengusap rambut si centil sekilas. Lalu sambil melambai-lambai ke seluruh pengantarnya, ia berkata kepada Indi, "Okay. Nanti surat pertamanya dua lembar, ya!?"

"Lima lembar!" sergah Indi, "Kak Kino janji lima lembar."

Kino tertawa tetapi tak menjawab tuntutan Indi. Ia melangkah setegar mungkin ke gerbong, walaupun hatinya penuh galau. Entah kenapa, ia merasa akan sulit bertemu lagi dengan orang-orang yang bersahabat ini. Entah kenapa, ia merasa ini adalah perjalanan pulang yang panjang.

Suara hiruk pikuk para penumpang memenuhi peron. Ada yang bersiap naik dan ada yang masih mengucap salam perpisahan dengan sanak saudara. Ayah merangkul bahu Kino, mengajak naik ke gerbong nomor 3. Menunduk lesu, Kino melangkah naik. Suara-suara memenuhi kepalanya, ramai sekali, tetapi juga sepi sekali. Lalu, ketika sudah di dalam gerbong yang ber-AC, suara-suara dari luar mulai tak terdengar. Sepi tiba-tiba menyerbu, tidak saja ke telinga, tetapi juga ke hati.

Dari jendela, Kino masih bisa melihat para sahabatnya melambai di pelataran peron. Aneh sekali, pemandangan itu seperti tidak nyata. Seperti sedang melihat sebuah acara televisi, sebuah sinetron. Berkali-kali Kino merasa perlu meyakinkan dirinya, bahwa semua ini nyata. Semua ini adalah sebentuk perpisahan yang benar-benar terjadi. Sebentar lagi kereta akan berangkat, dan semua pemandangan itu akan sirna, diganti pemandangan sawah-sawah dan kota-kota kecil yang berlarian ke belakang.

Ketika akhirnya kereta bergerak semakin cepat, Kino semakin terhenyak di kursinya, tenggelam dalam lamunan. Suara derak-deru kereta bagai mengungkupi dirinya. Pemandangan berkelebat semakin cepat, dan akhirnya menjadi baur aneka abstrak. Langit tampak luas sekali, awan putih berarak pelan. Berkali-kali Kino menghela nafas dalam-dalam.

Tiba saatnya untuk menjelang kesendirian. Selamat datang di lubuk sepi, bisiknya dalam hati.

0 komentar:

 

Blog Saru © 2008 using D'Bluez Theme Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez Based on FREEmium theme