22 April 2009

In Amore Esse

Alma menggeliat dua kali, menguap dan bersungut-sungut. Siapa, sih, menelpon sepagi ini? gerutunya dalam hati sambil turun dari tempat tidur. Hampir saja ia langsung keluar kamar, tetapi segera teringat belum memakai rok. Ia tidur dengan baju kaos panjang yang cuma sanggup menutupi setengah dari bokongnya yang seksi itu. Cepat-cepat diraihnya rok dan dipakainya.

Tidak mungkin Devan yang menelpon. Pemuda itu jarang mau mengganggu tidur kekasihnya yang lelap, pikir Alma. Sambil terhuyung-huyung, gadis itu membuka pintu kamar dan menerima telpon wireless yang disodorkan kepadanya.

Sambil menguap untuk menghilangkan kabut kantuk dari matanya, Alma mengucap salam. Sengaja ia membuat suaranya tidak jelas dan bernada malas. Biar yang menelpon ngerti ini, kan, masih pagi banget! gerutunya dalam hati

"Alma, ini Ibu," suara lembut di seberang sana.

Seketika kabut kantuk hilang. Alma tergagap, "Eh, Ibu... pagi-pagi... tumben...".

Ibu tertawa lembut dan menghardik sayang, "Duh, anak metropolitan..., jam 6 masih dikatakan pagi. Biasanya di sini kamu bangun jam 5."

"Alma begadang semalam, ngerjain tugas kuliah.... Bener, lho!" sergah Alma manja.

"Ibu percaya," kata ibunya masih dengan lembut. Enak sekali mendengar suaranya sepagi ini, pikir Alma yang kini sudah tak mengantuk sama sekali. Dengan seenaknya, dara ini duduk di lantai. Sejenak mereka bertukar berita-berita kecil. Alma membuat laporan singkat tentang kuliah dan kehidupannya, tak lupa menyebut nama Devan di sana-sini.

"Ibu ingin memberi kabar yang tidak enak," kata Ibu setelah beberapa saat, masih tetap dengan kelembutan yang menakjubkan itu. Bahkan sebuah kabar yang tidak enak pun disampaikan dengan enak!

"Ada apa Ibu?!" sentak Alma, kaget mendengar kata-kata "tidak enak" itu. Segera pikirannya meloncat-loncat ke mana-mana. Apakah musibah menimpa Ayah? Atau saudara? Atau siapa?

"Ibu baru saja menerima telpon dari keluarga Kino," kata Ibu, pelan tetapi jelas.

Jantung Alma berdegup tiga kali lebih kencang. Tangan yang memegang telepon langsung berkeringat. "Ada apa dengan Kino?" bisik Alma serak. Tenggorokannya tiba-tiba seperti tersekat.

"Ibu tahu, kalian tidak berhubungan lagi," kata Ibu tidak langsung menjawab pertanyaan Alma, "Tetapi Ibu pikir kamu harus tahu kabar itu."

"Ada apa dengan dia, Ibu! Jangan muter-muter, dong...," sergah Alma yang kini sedang berjuang menahan tangis yang tiba-tiba menggumpal di dadanya. Perasaannya sangat tidak enak. Ada apa dengan dia?

"Tenangkan dirimu," ucap Ibu menyiramkan keteduhan, tetapi airmata Alma sudah terlanjur merayap turun, "Kino ada di rumah sakit, tertabrak mobil. Lukanya cukup parah, dan sekarang belum sadar."

Tangis Alma tersekat, tetapi terdengar jelas di telepon. Ibu membujuk dengan kata-kata teduh dan sejuk. Alma hanya bisa menahan sedu-sedan, tapi tak kuasa mencegah air mata membanjir keluar.

"Mintalah ijin untuk tidak kuliah sehari ini. Tengoklah dia, Alma," kata Ibu.

"Ya, bu...," jawab Alma serak dan sengau.

"Ayah Kino mungkin sekarang sudah sampai di sana. Berlaku lah hormat padanya," kata Ibu lagi.

"Ya, bu..," sahut Alma sambil meraih tisu di meja dan membersihkan hidungnya

"Ibu tahu ini bukan waktu yang tepat, tetapi Ibu ingin kamu melupakan sejenak pertentangan kalian. Ibu tahu kamu masih sayang kepadanya," kata Ibu dengan kelembutan yang tak ada duanya.

"Ya, bu..," jawab Alma, kehilangan kata-kata. Apa lagi yang hendak diucapkannya? Semua yang dikatakan Ibu benar belaka!

"Berani ke kota B sendirian? Atau haruskah mengajak Devan?" ada nada kurang setuju di ucapan Ibu kali ini.

"Berani, Ibu. Saya akan berangkat sendirian," jawab Alma sambil menyeka matanya dengan lengan baju kaos.

"Hati-hati di jalan. Sampaikan salam Ayah dan Ibu untuk Ayah Kino," kata Ibu menutup pembicaraan.

Alma menekan tombol off lalu membiarkan gagang telepon tergeletak di lantai. Menunduk, meletakkan kepalanya di tangan yang tersandar di kedua lututnya, Alma melanjutkan tangis yang tadi tertunda. Sebuah kecelakaan..... Kino terluka parah..... Hanya ini kah yang bisa mengundangku datang kepadanya? keluh Alma dalam hati. Mengapa harus dalam nestapa ia datang menjenguk? Mengapa yang datang bukan undangan di amplop warna-warni berisi inisial K dan .. entah siapa? Mengapa aku hanya bisa datang kepadanya untuk berbagi duka?

Alma membiarkan airmata mengalir deras tumpah di punggung tangannya dan menetes ke lantai. Ia menangis sepuasnya. Sampai ia letih sendiri.

********

Ibukota masih tidak terlalu ramai ketika akhirnya Alma sampai di stasiun. Sebelum berangkat, ia sempat mencoba mengontak Mba Rien, tetapi tidak ada yang mengangkat gagang telepon di ujung sana. Alma tak tahu, ke mana harus menghubungi wanita yang kini sudah jadi celebrity itu. Ia juga tidak bisa meninggalkan pesan. (waktu itu belum ada ponsel dan answering machine, lho! - pen.)

Kemudian Alma menelpon Pasya, sahabatnya itu. Selain menyatakan akan absen hari ini, Alma juga perlu menelpon sahabatnya, karena ayah gadis itu adalah seorang dokter senior yang bekerja di rumahsakit tempat Kino dirawat.

"Kino yang pernah kamu ceritakan dulu itu?" tanya Pasya mendengar berita dari Alma.

"Ya. Aku harus ke sana, Sya.. Perasaanku ngga enak...", jawab Alma.

"Perlu ditemani?.. Kasihan kamu sendirian di keretaapi," kata Pasya. Gadis itu tahu, tidaklah bijak kalau mengajak Devan pergi ke sana. Pemuda itu belum tentu bisa menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa kekasihnya masih memendam rasa khusus untuk seorang pemuda lain.

Alma menolak tawaran Pasya dengan halus. Tetapi ia minta bantuan Pasya untuk mengontak ayahnya, dan memberitahu bahwa ia akan datang menemuinya. Kebetulan Alma cukup dekat dengan keluarga Pasya dan Oom Adnan, ayah Pasya, dikenalnya dengan baik. Bagi Alma dan Pasya, Prof. dr. Adnan Ramadi adalah acuan terdekat untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan kedokteran.

"Satu lagi, Sya... Tolong telpon Devan dan buatkan alasan untukku. Apa saja lah, terserah kamu!" kata Alma lagi sebelum mereka memutuskan hubungan telepon.

Pukul 09.14 Alma sudah duduk di keretaapi. Kursi di sebelahnya diduduki seorang ibu muda yang acuh-tak-acuh. Alma langsung tenggelam dalam lamunan. Majalah yang dibelinya di peron, tergeletak belum terbuka di pangkuannya. Ketika keretaapi mulai bergerak, Alma menatap ke luar jendela. Sebuah deja vu segera terlintas. Di mana kah aku pernah melihat pemandangan ini: orang-orang melambai,...... aku bergerak menjauh,....... jendela kaca besar membingkai perpisahan? Di mana kah aku pernah terlanda perasaan ini: kehilangan yang dalam di lubuk hati,..... kerinduan yang langsung tercipta,...... kebimbangan yang langsung menerpa-nerpa?

Lalu Alma melihat seorang pemuda berdiri sendirian di kejauhan. Tangannya melambai sebentar, tetapi lalu turun lagi masuk ke kantong celana jeans-nya. Tidak! sergah Alma dalam hati. Itu bukan dia. Itu bukan Kino.... tetapi mata pemuda itu sedih-gundah, menatap kereta berjalan menjauh. Siapa gerangan yang meninggalkannya? Apakah ada seorang gadis di gerbong ini yang berlaku seperti aku dulu: pergi meninggalkan sebuah tatapan yang diam-beku dalam ketakpastian yang dibalut rindu? Apakah ada seorang gadis di gerbong ini yang telah mengikat-erat kalbu pemuda itu, dan lalu pergi sambil mengulurkan untaian kerinduannya?

Kereta bergerak semakin cepat. Pemandangan semakin melesat berlarian ke belakang lalu menghilang. Mata Alma tak bisa lagi mengikuti semua gerakan itu. Segalanya mengabur. Apalagi ada sedikit genangan menyaput tipis di kedua bola matanya. Berkali-kali Alma mengerejapkan kelopak matanya, agar air tak merebak dan tumpah keluar. Dipandangnya awan putih berarak perlahan. Ditatapnya langit biru bersih. Diterbangkannya lamunan setinggi-tinggi mungkin. Ia tidak ingin menangis. Ia sudah letih menangis untuk pemuda itu.

********

Kino duduk di sebuah batang pohon kelapa yang tergeletak di pasir. Sebuah ombak besar tadi membuatnya terdampar di sini. Perahu sudah hilang entah kemana, bersama Mba Rien yang juga lenyap tak berbekas. Tercenung, pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kini ia mulai bertanya-tanya: di mana gerangan aku? Mengapa semua serba aneh? Tempat apakah ini?

Belum semua pertanyaan itu terjawab, Kino tiba-tiba melihat Alma duduk di kejauhan. Di sebuah batu di tengah laut yang bergelora. Perlahan pemuda itu bangkit untuk memastikan apa yang dilihatnya. Dengan satu tangan, ia memayungi matanya, mencoba melihat lebih tegas.... Ya, itu memang Alma. Mengapa ia duduk di situ sendirian?

********

Sebetulnya bagaimanakah kita bisa mengguratkan kerinduan dalam kata-kata yang tegas? Alma bertanya dalam hati. Apakah cuma perpisahan yang bisa menjadi batas awal dari kerinduan itu, dan di mana -atau kapan- pula batas akhirnya?

Sekarang aku begitu merindukannya, bisik sebuah suara di hati Alma. Sekarang aku begitu ingin memeluk dan menenggelamkan mukaku di dadanya, merengkuh pinggangnya dan memejamkan mata dalam sebuah kenyamanan mendengarkan detak-debur jantungnya. Sekarang aku bisa mencium kembali aroma segar yang selalu hadir bersamanya. Betapa senangnya memeluk tubuh kokoh itu, menghenyakkan seluruh kerinduan di lapang dadanya, menghimpitkan seluruh gelora hati di sekujur badannya. Atau juga membiarkan wajahku ditengadahkannya agar ia bisa leluasa mengulum kelembutan yang selalu bisa merekah leluasa di bibirku. Sekarang aku begitu merindukannya.

Sebuah senyum tipis terkembang di bibir Alma ketika ia ingat ciuman pertama mereka. Betapa jauh dalam ruang dan waktu adegan yang mempesona itu, tetapi betapa dekat kini di kalbunya. Ia ingat betapa tak kuasa dirinya berpikir jernih dan bertindak leluasa waktu itu. Ciuman Kino!... Ah, itu ciuman yang mengurung seluruh roh dan wadah-fisik dalam jerat yang mempesona. Itu ciuman yang menjadi inti-bumi, memaku dan membuat Alma tak bisa bergerak kemana-mana, tetapi sekaligus membuatnya berenang-renang dalam ketakberbatasan yang mengasyikkan. Mengapa kah aku tak kuasa menolaknya waktu itu, dan mengapa pula aku tak pernah mempersoalkan ketakkuasaan itu dulu? Kubiarkan saja ciuman itu menggelar sebuah hamparan kasih yang lapang dan lega.

Lalu kini aku tersesat dalam kelapang-legaan itu. Kini aku menyongsong sebuah rindu yang perlahan-lahan membalut rasa. Siapa kah yang akan kutemui tergeletak di ranjang rumahsakit dengan luka parah itu? Ingin sekali aku menciumi wajahnya untuk menghilangkan sakit-perih di badannya. Tetapi bagaimana pula aku bisa menemukan keperihan-kepedihan di hatinya. Karena aku tak pernah ingin membiarkan luka ada di hatinya, padahal sembilu telah tergoreskan. Karena aku juga membiarkan luka demi luka menjadi warna dari setiap kerinduanku padanya. Mungkinkah luka bertemu luka akan menimbulkan riang-bahagia? Betapa janggalnya!

Dan apa pula itu kejanggalan ketakmasuk-akalan? Sebentuk cinta. Sekerat rindu. Itulah kejanggalan. Itulah ketakmasuk-akalan.

Keretaapi melaju dengan kecepatan maksium. Derak-derap roda besi di atas rel semakin jelas terdengar, bertalu-talu teratur menciptakan ritme yang membuai. Tubuh Alma bergoyang-goyang mengikuti irama gerakan gerbong ke kiri dan ke kanan. Suara-suara di hatinya masih saling bersahutan, seperti sebuah forum diskusi yang hangat dan aktual. Tetapi semakin lama semakin menipis-menyepi pula... menjadi gaung-gaung yang tak jelas, lalu akhirnya lenyap seperti suara guntur yang menghilang di balik kaki langit. Alma tertidur di kursinya.

********

"Alma!" teriak Kino penuh kekuatiran, "Sedang apa kamu di sana?"

Gadis itu diam saja, duduk bersimpuh dengan salah ujung kakinya terjuntai lebih ke bawah, dijilati ombak laut biru. Gadis itu menunduk, membiarkan sebagian rambutnya tergerai menutupi salah satu matanya. Kino berteriak lagi, tetapi pastilah suaranya tak sampai, karena Alma tetap diam. Seperti ikan duyung, the little mermaid, menunggu pangeran datang menjemputnya.

Kino memutuskan untuk berjalan menembus ombak, mencapai batu dan menggapai Alma. Pemuda itu kuatir melihat di kejauhan ombak mulai meninggi. Kaki langit juga sudah terlihat hitam, tanda badai sedang datang menghampiri. Segera saja ia mencercah pantai, menerobos buih-buih putih lidah ombak, menuju gadis yang dulu sering dituntunnya meniti tepian sawah.

Itu gadisku! sergah hati Kino, walau telah terpegat waktu dan ruang dan ragu dan gundah. Tak mungkin kubiarkan ombak menelannya, membawanya pergi untuk yang keduakali. Dulu bis malam yang panjang dan kekar itu melarikan gadisku ke kota yang jauh tak terperi. Dulu aku terpaku membiarkan mesin-besar dengan delapan roda itu berderum membawanya menembus malam. Apakah sekarang harus kubiarkan ombak biru-pekat itu menelannya, membawanya ke dasar laut?

"Jangan bergerak Alma!" teriak Kino sambil susah payah menggerakkan kakinya di dalam air yang telah mencapai lutut, "Tunggu aku datang!"

Tetapi laut jauh lebih perkasa daripada Kino. Sebuah ombak setinggi pundak pemuda itu tiba-tiba muncul dan menyergapnya. Sejenak Kino mencoba bertahan, tetapi lalu memutuskan untuk tidak melawan, melainkan mengikuti saja desakan ombak. Ia bersiap berenang, menyambut dinding air yang cepat sekali datang mendekat. Byur!... dalam sekejap seluruh tubuh Kino sudah ada di bawah air.

Kino dibesarkan oleh Alam, dan air-asin-pekat bukan sesuatu yang menakutkan baginya. Dengan cekatan ia berenang menembus ombak, berusaha tak terlalu jauh hanyut kembali ke pantai. Sambil mengatur nafas agar bisa lebih lama di bawah air, Kino mengatur strategi untuk melawan dorongan ombak. Perlahan tapi pasti, ia mendekat ke batu tempat Alma duduk.

Ketika berkesempatan mengangkat kepalanya di atas air, Kino melihat Alma masih duduk diam menunduk. Kino juga kini bisa melihat betapa murung wajah gadis itu. Mengapakah?

Kino masih ingin lebih lama melihat ke arah Alma, tetapi ombak yang lebih besar telah datang lagi menyergap. Buru-buru Kino mengantisipasinya, sehingga ketika dinding air yang dua kali lebih tinggi dari yang pertama itu menyergap, ia sudah siap menyelam dan menggerakkan kaki-tangannya sekuat tenaga. Aliran air begitu kuat, sehingga gerak maju Kino sangat lambat. Segenap tenaga dikerahkannya. Hatinya menjerit: aku harus sampai ke batu itu!

Alam ternyata tak sedikit pun memperlihatkan iba. Ombak demi ombak datang menggempur. Susah sekali Kino maju, dan tenaganya semakin terkuras. Kakinya terasa pegal, dan tangannya pun mulai lemah. Walaupun ia bisa maju satu meter, tetapi ombak memukulnya mundur dua meter.

Semakin jarang Kino bisa mengangkat kepalanya dari muka air. Semakin lemas pula ia. Apalagi kemudian ada arus bawah yang seperti menjerat kedua kakinya. Ada pusaran yang seperti seorang pejudo ulung membanting Kino menghujam pasir. Tidak itu saja, sebuah batu karang di dasar laut tiba-tiba muncul. Kino tak sempat menghindar. Kepalanya membentur batu itu, keras sekali

Kino merasakan sakit yang menyengat. Ia menjerit tetapi suaranya cuma menjadi gelembung-gelembung udara di dalam air. Paru-parunya terasa sesak. Kali ini Kino merasakan segalanya nyata. Sakit itu nyata. Rasa sesak nafas itu nyata. Pandangannya gelap. Segalanya gelap. Rasa sakit yang luar biasa tiba-tiba menyergap kepalanya.

********

Seorang suster jaga melihat Kino menggeliat kecil di ranjangnya. Segera ia mengontak dokter piket, melaporkan bahwa pasiennya mungkin siuman dan kini merasakan sakit luar biasa. Sebuah kesibukan kecil segera terbentuk. Dokter Rudy kemudian muncul dan memberikan beberapa instruksi. Ia menaruh harapan besar, pasiennya akan segera siuman, dan berarti tidak jatuh ke alam coma lagi. Tetapi dari keadaan tubuhnya, dan dari monitor beberapa waktu setelah operasi, pasiennya itu masih dalam keadaan mengkuatirkan.

Keadaan pasien itu pula yang menyebabkan dokter Rudy melarang tegas semua "keluarga" di luar untuk tidak masuk. Tadi salah satu dari mereka, yang dipanggil Tris itu, mendesak untuk masuk. Tetapi dengan halus dokter Rudy menolaknya. Wanita itu kelihatan histeris, dan justru akan merepotkan jika dibiarkan masuk.

********

Pemeriksaan karcis membuat Alma terjaga dari tidurnya. Dalam hati ia berterimakasih karena terbangun dari sebuah mimpi yang aneh dan menakutkan. Di dalam mimpi itu ia melihat Kino berada di sebuah jembatan yang tinggi dan panjang sekali. Tetapi pemuda itu tidak berada di tengah jembatan, melainkan di pinggir sekali. Bahkan terlalu ke pinggir, sehingga Alma berteriak-teriak memperingatkannya agar tidak salah langkah. Sampai habis suara Alma berteriak, tetapi Kino tak mendengar juga. Lalu Kino melangkah terlalu ke kanan, dan ......... Alma terbangun oleh sentuhan halus di bahunya.

Setelah pemeriksaan berlalu, Alma tercenung. Mimpi itu mengusik lagi kerinduan, yang kini disertai ketakutan. Bagaimana jika aku terlambat tiba di rumahsakit, dan Kino sudah.....

Alma bergidik sendiri. Ibu muda di sebelahnya menengok dan bertanya, "Mabuk, ya?" dengan suara yang jauh dari kuatir, melainkan penuh kesiagaan. Pasti dia tidak suka lihat orang muntah!

Alma tersenyum dan menggeleng kuat-kuat. Ibu itu pun lalu kembali acuh-tak-acuh, meneruskan makan kuaci dari sebuah bungkus besar yang kini cuma berisi separuh.

Lambat sekali jalannya kereta ini! sergah Alma dalam hati. Ia tidak tahu berapa cepat seharusnya sebuah kereta berjalan menembus sawah-sawah yang sebagian sudah menguning itu. Ia hanya merasa, kenapa jauh sekali kota B itu. Kenapa tidak bisa kutarik saja kota itu lebih dekat lagi ke metropolitan! Seandainya ada Superman, ia tentu bisa dengan mudah membetot rel kereta untuk menarik kota itu mendekat!

********

Ayah Kino tiba menjelang tengah hari. Ia menuju meja informasi dan bertanya di mana bangsal gawat-darurat. Setelah mendapat petunjuk, bergegas lelaki setengah baya itu menuju ke sana. Tak ada seorang pun yang ia kenal di antara kerumunan orang-orang yang ada di depan bangsal. Sesungguhnya memang Ridwan dan kawan-kawan sudah pulang untuk mandi dan beristirahat setelah mendapat penjelasan yang menenangkan dari dokter Rudy. Ibu Kost dan Ayah Indi juga sudah pulang. Tinggal Indi dan Trista yang ada. Mereka bertahan walau tubuh dan jiwa sungguh letih rasanya. Indi bahkan tertidur di bahu Tris yang duduk diam dengan mata bengkak oleh tangis berkepanjangan.

Keduanya tak mengenal Ayah Kino, dan sebaliknya. Maka ketika Ayah Kino diijinkan masuk oleh seorang suster, Tris tak mengacuhkannya. Ia pikir lelaki itu salah seorang anggota keluarga dari pasien yang barusan dikabarkan meninggal.

Lelaki itu menguatkan hatinya, tetapi tetap saja langkahnya menjadi tersendat. Seorang perawat pria bersimpati membimbingnya mendekat ke ranjang Kino. Segera saja airmata memenuhi pandangan lelaki itu. Tak tahan ia melihat putranya tergeletak dengan perban membalut hampir seluruh kepalanya. Apalagi perban itu tak lagi berwarna putih, melainkan penuh warna pekat, merah atau coklat dan hitam.

********

Keretaapi yang membawa Alma memasuki peron pada saat yang sama. Gadis itu berlarian keluar dari gerbong dan berteriak memanggil taksi di pelataran parkir. Untung tidak banyak orang yang mencari taksi hari itu, dan dengan segera Alma pun melaju menuju rumahsakit.

"Tolong lebih cepat lagi, Pak!" sergah Alma.

"Ini juga udah paling cepat, Neng...," jawab Pak Sopir kalem, "Kalau lebih cepat lagi, nanti malah nyungsep"

Alma tersenyum mendengar jawaban sopir yang tampaknya sudah terbiasa menghadapi penumpangnya yang cerewet.

"Maaf, Neng..., boleh saya tanya siapa yang sakit?" tanya Pak Sopir sambil melirik kaca spion. Penumpangku ini kelihatan gelisah sekali, pikirnya, mudah-mudahan tidak ada kabar buruk di rumah sakit.

Sejenak Alma berpikir: siapa kah Kino bagiku?... Tetapi lalu cepat-cepat ia menjawab, "Pacar saya!"

"Maaf, Neng..., mudah-mudahan tidak gawat...." kata Pak Sopir dengan rasa kuatir yang orisinal. Begitulah orang-kecil semacam dia, bahkan untuk menyatakan simpati saja harus didahului dengan minta maaf!

"Terimakasih, Pak...," sahut Alma, "Saya juga berharap begitu...."

Aku bahkan berharap lebih dari itu! sergah Alma dalam hati. Aku berharap kita berdua tak pernah tumbuh dewasa,.... tak pernah lulus dari SMA,..... tak pernah harus pergi sekolah di kota berbeda, tak pernah harus berpisah!

Taksi ternyata memang bergerak cukup cepat. Selain itu, Pak Sopir juga sangat cekatan, mencari celah-celah di antara angkot, becak, sepeda, gerobak,..... pedagang kaki lima.... kucing yang melintas santai... seorang bapak yang melemparkan kulit pisang ke jalan... semuanya ia lewati dengan cekatan.

Kurang dari 20 menit, Alma sudah tiba di halaman rumahsakit. Setelah membayar dan tak menunggu kembaliannya, gadis itu melesat masuk ke kantor utama, tak lupa memakai baju putih panjang yang biasa ia pakai untuk praktek di rumahsakit. Seorang satpam mengantarnya ke ruang Prof. Adnan. Lalu dokter tua yang rambutnya sudah putih semua itu, bahkan sebagian berwarna perak, mengantar Alma ke dokter Rudy yang menangangi Kino. Dari penuturan dokter inilah Alma mendapat gambaran awal tentang betapa parahnya luka yang diderita Kino. Sambil menggigit bibir, Alma menahan tangis mendengar semua penjelasan. Prof. Adnan memeluk bahu Alma dan mengucapkan kata-kata menghibur.

Ketika Alma masuk ke bangsal, kedua lututnya langsung lemas. Sebagai mahasiswa kedokteran, ia sudah sering melihat hal yang jauh lebih buruk. Ia sering melihat kematian menjemput pasien, atau luka besar menganga di perut seseorang. Tetapi melihat Kino terbaring dengan kepala terbebat perban....

"Kuatkan hatimu," bisik Prof. Adnan yang membimbingnya masuk.

Ayah Kino bangkit dari terpekurnya di sebelah ranjang. Lelaki yang tampak letih itu menyambut pelukan Alma, membiarkan gadis itu menangis dan mengucapkan "maaf" berkali-kali. Lelaki itu tak tahu mengapa harus memberi maaf, tetapi ia diam saja dengan kebapakannya. Ia membelai anak wanita yang dulu dikiranya akan jadi menantu kelak di kemudian hari. Ia tak pernah tahu rincian kisah anaknya dengan gadis calon dokter ini, tetapi naluri kebapakannya menangkap masih ada benang halus yang menghubungkan keduanya. Entah sehalus apa, atau setipis apa. Tetapi ada.

Dokter Rudy mendekat dan mengatakan dengan suara pelan, "Di luar ada dua wanita yang ingin ikut masuk. Mereka bukan keluarga, bukan?"

Ayah Kino baru tersadar dari kealpaannya. Ia lupa mencari tahu, siapa teman Kino yang mengabarkan kecelakaan itu lewat telpon. Tergagap, lelaki itu memohon dokter Rudy mengijinkan kedua wanita itu masuk. Sambil tersenyum maklum, dokter Rudy mengangguk dan segera menuju keluar.

********

Trista tak bisa menangis lagi ketika dengan tertatih ia masuk menggandeng Indi. Ayah Kino berdiri menyambut mereka. Alma sudah duduk di dekat kepala Kino, memandang ke arah dua wanita yang berjalan mendekat, sambil bertanya-tanya dalam hati: yang manakah kekasih Kino?

"Maafkan saya, Pak....," desah Tris ketika menyalami Ayah Kino, membuat lelaki itu merasa semakin tua saja. Wanita yang menyalaminya itu cantik-cemerlang belaka. Siapakah dia? Dan mengapa minta maaf?

"Saya teman Kino, Pak...," kata Indi yang lebih tenang. Ia sempat melirik ke Alma yang duduk di dekat kepala ranjang. Nalurinya langsung berkata: itu kekasih Kino. Di sebelahku, yang sedang sibuk minta maaf, juga kekasih Kino. Aku...., tidak... aku bukan kekasihnya. Siapakah aku?

"Saya kekasih Kino...," bisik Tris sambil menunduk, "Ia pulang dari rumah saya ketika kecelakaan terjadi..."

Ayah Kino terperangah. Alma membelalakkan mata, tetapi cepat-cepat menunduk ketika Indi melirik ke arahnya. Baik Ayah Kino maupun Alma betul-betul kaget. Bukan saja oleh "berita" yang dibawa wanita itu, tetapi juga oleh kenyataan bahwa kekasih Kino itu cantik sekali! Sebentuk rasa aneh menyergap Alma; hmmm... inikah sebabnya Kino tak berkirim surat?... Begitu cantiknya sang penyebab itu. Bahkan lebih cantik dari Mba Rien....

Lalu hening menyergap, menyertai kebekuan. Trista duduk bersama Indi di satu sisi. Alma dan Ayah Kino duduk di sisi lain. Para dokter dan suster sudah menyingkir, membiarkan "keluarga" itu menemani pasien. Tadi Alma sempat menyalami Tris dan Indi. Ketiganya langsung membentuk persekutuan yang aneh.

Tris dan Indi menyentuh tangan Kino yang terkulai di kiri. Tris bahkan membelai-belai tangan itu sambil tak hentinya membisikkan sesuatu yang tidak jelas. Indi sesekali melirik memperhatikan Alma, yang ternyata melakukan perbuatan sama di tangan sebelah kanan! Wahai..., betapa rumitnya hidup ini, pikir Indi. Bagaimana nanti kalau Kino sembuh, dan ada dua wanita yang hadir dalam bentang cintanya?.... Indi segera mengutuk dirinya sendiri, mengapa berpikir yang tidak-tidak di depan pasien yang sedang berjuang untuk terus hidup! Tetapi sesungguhnya ia betul-betul ingin tahu.... apa yang nanti akan terjadi!

Ayah Kino tercenung sambil terus berdoa. Ia tak tahu apa yang ada di benak tiga wanita, semuanya cantik dan cemerlang belaka. Ia belum bisa mengerti, mengapa anaknya bisa menghimpun tiga bidadari ini di sekelilingnya. Tetapi ia juga berharap, agar Kino mendengar semua doa di sekitarnya. Agar anak itu memiliki lagi semangat untuk hidup, karena kata dokter Rudy, hanya itulah yang bisa menyelamatkan nyawanya. Sambil menunduk dalam-dalam, Ayah Kino berdoa lagi.

********

Kino merasa dirinya berpusar-berputar bagai gasing di dalam air yang semakin lama semakin pekat. Nafasnya semakin sesak, dan sakit di kepalanya semakin nyeri. Pandangannya menggelap, tetapi samar-sama ia bisa mencium bau obat bercampur bau darah dan bau-bau lainnya yang tidak begitu jelas. Ia juga kini merasa tak berdaya, terbaring di sebuah dasar yang empuk dan jelas bukan dasar lautan berpasir. Ia mencoba bergerak, tetapi seluruh sendi di tubuhnya seakan terkunci

Kino juga mulai berpikir keras: di mana aku? Ia heran kenapa sudah terbaring seperti ini dengan kepala nyeri. Apa yang terjadi sebelumnya, ia tidak tahu. Samar-samar ia seperti bermimpi, tetapi isi mimpi itu begitu campur-aduk sehingga ia tak ingat lagi detil-rinciannya. Seberkas ingatan yang muncul adalah bayangan tak jelas tentang hujan lebat dan ia berlari-lari.... Ya, kini ia ingat sedang berlari-lari di jalan raya menembus tirai air. Lalu,.... ya... ia ingat ada sesuatu yang menghantam tubuhnya, membuatnya terpelanting. Lalu.. hitam. Ia tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu.

Suara-suara.... Kino mendengar suara-suara merdu di sekelilingnya. Sambil menahan nyeri, Kino ingin tersenyum. Lega karena ia kini yakin bahwa suara-suara itu nyata dan dekat sekali di sekitarnya. Ah, rupanya aku cuma pingsan setelah sebuah peristiwa tabrakan. Pastilah Tris yang tadi berbisik mengatakan, "Ayo bangun...". Ya... itu pasti suaranya. Dan memang aku harus bangun, bukan? Buat apa aku terlentang di sini seharian? pikir Kino dalam sebuah rasa riang yang tiba-tiba muncul di tengah nyeri.

Kino mencoba membuka mata, tetapi kelopak matanya seperti digayuti pemberat baja. Lagipula, rasa kantuk terus menerus datang. Susah payah Kino melawan kantuk itu. Ia ingin sekali memastikan, di mana ia, dan apa yang sebetulnya-sesungguhnya terjadi. Ia ingin berucap satu dua patah kalimat, tetapi mulutnya seperti terkunci. Ia bisa merasakan tangannya menyentuh tangan orang lain. Tangan siapa kah? Rasanya ia ingin berteriak, tetapi benar-benar tidak bisa!

********

Kesibukan kecil terbentuk lagi di sekeliling ranjang Kino. Dua suster membantu dokter Rudy mencek kondisi pemuda itu. Alma dengan serius memperhatikan semua gerak-gerik dokter itu, mendengarkan penjelasan-penjelasan yang diberikannya kepada suster. Trista berdiri di kaki ranjang bersama Ayah Kino dan Indi, memandang bingung tetapi penuh harap. Tadi mereka semua mendengar Kino mengerang dan bergerak lemah. Lalu Alma dengan cekatan bangkit dan memanggil suster. Lalu gadis itu juga tampak masuk ke ruang dokter tanpa ragu-ragu. Indi memandang gerak-gerik Alma dengan takjub.

Di dalam hati, dokter Rudy merasa lega, pasiennya berhasil melewati masa kritis. Ia nyatakan perasaan ini kepada Alma, tetapi dengan peringatan agar jangan terlalu gembira karena bisa saja Kino kembali tergelincir ke alam koma. Dokter muda ini tahu, hanya Alma yang bisa diajak bicara soal teknis kedokteran. Sebab itulah, sambil memeriksa Kino, dia membisikkan pesan-pesan itu kepada gadis di sebelahnya.

"Tampaknya dia akan tertidur, karena ada sedikit bius untuk membantunya melawan sakit," kata dokter Rudy, "Tetapi biarkan juga ia merasakan sakit, karena itu akan membantunya tetap sadar. Asalkan jantungnya stabil dan semangat hidupnya tetap tinggi, saya yakin.... no! .. saya harap .... dia segera melewati masa kritis..."

Alma mengangguk-angguk. Di dalam hati, gadis ini bersikeras untuk membentuk keyakinan bahwa Kino akan sembuh. Alma tahu segalanya akan ditentukan olehNya..., tetapi ia juga tahu bahwa upaya Kino sendiri akan sangat menentukan. Ia ingin terus di sisi pemuda ini, membantunya membangkitkan semangat hidupnya. Kalau perlu ia akan memperpanjang masa tinggalnya, menemani Ayah Kino. Tadi ia sempat memandang lelaki yang tampak letih dan sedih itu. Bagi Alma, gambaran Ayah Kino itu jauh sekali dari dulu, ketika mereka masih sama-sama tinggal di kota kelahirannya. Iba sekali rasanya ia memandang lelaki itu, yang tampak tak berdaya menghadapi musibah tiba-tiba ini. Aku akan menemaninya! kata Alma dalam hati.

Sementara itu, Tris mengamati segala gerak-gerik dokter Rudy, Alma dan para suster. Ia tak tahu apa yang mereka diskusikan, tetapi nalurinya mengatakan bahwa ada kabar-kabar baik di antara percakapan teknis mereka. Sambil menggenggam tangan Indi erat-erat, Tris berbisik, "Dia akan sembuh...."

Indi membiarkan tangannya diremas. Sejak malam musibah, ia merasa semakin dekat dengan wanita cantik yang ternyata adalah kekasih Kino ini. Bagi Indi, wanita itu memang mempesona dan penuh dengan cinta. Sepanjang malam wanita itu tak henti-hentinya berdoa. Wajahnya yang cantik itu tampak letih, tetapi matanya yang sedih itu tampak penuh keteguhan pula. Berkali-kali pula Tris mengatakan bahwa semua ini adalah kesalahannya. Indi tak terlalu mengerti, mengapa bidadari di sampingnya ini selalu membisikkan kata "maaf". Tetapi Indi sangat bersimpati, dan berjanji dalam hati untuk menemaninya.

Ayah Kino berdiri terpaku memandang semua kejadian di sekelilingnya. Ia tak bisa menangkap seluruh makna dari adegan-adegan di depannya. Ia hanya bisa pasrah dan menyerahkan segalanya kepada Dia dan kepada para ahli yang tahu soal-soal luka itu. Tetapi ia juga yakin, anaknya akan segera sembuh. Ia menguatkan hati, dan diam-diam berterimakasih karena putranya dikelilingi oleh orang-orang yang tampaknya mencintainya. Ia bersyukur... Kino adalah orang yang dicintai... in amore esse....


0 komentar:

 

Blog Saru © 2008 using D'Bluez Theme Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez Based on FREEmium theme