22 April 2009

Sepanjang Jalan Sinar

Ada sebuah tanah lapang yang amat luas berwarna abu-abu pekat, begitu luasnya sehingga tak nampak di mana tepian. Tak terkira di mana awal di mana akhir. Tanah lapang yang begitu halus lurus-datar sejauh-jauh mata memandang, begitu lembut dipijak kaki dan begitu tipis sehingga tertembus pandang. Ah, ini sebuah tanah lapang yang mengapung-apung dalam ruang kehampaan yang legam-pekat. Kino melihat ke sekelilingnya, mengira-ngira apakah ia di tengah, atau di atas, atau di tepi, atau di mana-mana?

Kemudian ada suara-suara keheningan dan dengung-dengung kebisuan. Kino tersenyum merasakan sekelilingnya seperti merengkuh gemulai, apalagi kemudian sebuah sinar mulai membersit di kejauhan sana. Sebuah sinar yang amat terang sesilau-silaunya mata memandang. Ah, .. Kino tersenyum lagi karena dari titik membersit itulah datangnya rasa selaksa damai yang mendatangkan teduh. Aneh memang, kebenderangan yang terik itu justru membawa sejuk. Sama anehnya dengan keheningan yang bersenandung ramah. Atau kegulitaan yang menerangkan.

Dan Kino melangkah ke arah sinar itu. Ringan dan santai dan nyaman sekali langkahnya. Riang sekali rasa hatinya, walau sempat ia bertanya: Siapa gerangan di balik sinar itu yang bernyanyi kepadanya begitu menina-bobokkan?

**********

"Dammit!" dokter Rudy memisuh pelan, "Jangan menyerah sekarang, buddy!"

Suster kepala di ruang emergency cepat-cepat mengambil lap untuk menghapus keringat di sekitar mata dokter yang sedang berjuang memperkecil tumpahan darah dari luka di kepala Kino. Sesekali ia melirik ke monitor yang memperlihatkan denyut jantung pasien muda itu.... Hmmm... tidak begitu menggembirakan, batinnya.

Tiga suster lainnya dengan cekatan memberikan apa saja yang diminta dokter Rudy. Gunting, berkilauan karena bersih dan tajamnya. Tang, panjang atau pendek... mencapit buntalan-buntalan kapas yang cepat sekali memerah oleh darah yang mengalir deras dari luka. Dokter berjuang keras menyetop perdarahan, sambil berharap persediaan darah tidak habis. Tadi, ia telah meminta "keluarga" di luar ruang emergency untuk menyiapkan darah cadangan sesegera mungkin...

"C'mon.. C'mon!", desis dokter Rudy lagi sambil mempercepat kerjanya.

**********

Ridwan serius mengkoordinasikan teman-temannya. Indi serius mendengarkan perintah-perintahnya.

"Kita harus sebanyak mungkin mendapat darah, siapa yang mau menyumbangkan?," ujar Ridwan sambil memandangi satu per satu Tigor, Rima, dan Indi. Ia menengok pula ke bangku dekat pintu ke ruang operasi, melihat Trista tersedu dipeluk Ibu Kost dan diapit Ayah Indi.

Semua mengatakan mau menyumbangkan darahnya. Indi bahkan sudah menyingsingkan lengan bajunya. Trista mengangkat kepala, dan berkata lemah, "Saya juga."

"Kata dokter Kino bisa menerima golongan apa saja," kata Ridwan lagi, lalu melihat ke sekeliling, "Di mana tempat transfusi?"

Seorang suster datang mendekat, memberi penjelasan ringkas tentang prosedur transfusi atau penyiapan darah dengan membeli di bank darah. Ridwan mengatakan mereka semua bisa menyediakan darah, kalau memang dianggap sehat untuk itu. Suster lalu mengajak mereka ke sebuah ruang lain. Di sana mereka diperiksa, apakah bisa menyumbangkan darah atau tidak

**********

"Lho, ada sebuah jendela?" ujar Kino ketika ia baru melangkah sepuluh kali

Jendela itu mengawang-awang, tiada temboknya, tetapi Kino tak peduli. Ia mendekat dan melongok ke luar. Hamparan hijau alam asri lengkap dengan danau, sungai dan gunung.... Terpampang megah mempesona bagai sebuah lukisan tiga dimensi. Kino mengernyitkan dahi, .. mengapa ia merasa kenal sekali dengan pemandangan itu?

Kino tertawa riang, sendirian. Tawanya bergema ke mana-mana, terpantul-pantul padahal tidak ada tembok atau apa-apa di sekelilingnya. Kino tak peduli, ia ingin tertawa karena dilihatnya seorang anak kecil berenang di sungai bersama teman-temannya. Tentu saja Kino kenal anak kecil itu, yang sudah gemar menyilam sejak 7 tahun. Tentu saja! Itu Kino kecil, sewaktu sekolah dasar....

Baru saja Kino hendak memanggil bocah itu, hendak meneriakkan namanya, tiba-tiba gambar di depannya berubah. Hujan deras sekali. Awan hitam bergumpal-gumpal. Angin menderu-deru.... Kino terheran, dari mana datangnya badai?... Sebuah kilat berkerejap, dan sejenak Kino melihat seorang pemuda tergeletak di aspal dengan kepala berlumuran darah.

Kino memegang kepalanya. Tersenyum, ia merasa lega karena kepalanya tidak penuh darah seperti pemuda yang tergeletak itu. Apalagi kemudian gambar cepat berganti lagi. Laut biru terpampang luas di hadapannya. Pasir hitam pekat. Perahu-perahu nelayan di kejauhan. Seorang gadis di bawah pohon kelapa tersenyum dan melambai kepadanya. Kino membalas lambaian itu sambil menyebut namanya, "Alma!"

**********

"Stabilkan jantungnya. Cepat!" sergah dokter Rudy, dan para suster bergerak tiga kali lebih cepat. Sigap sekali gerak mereka, hasil pengalaman beratus kali menangani berbagai kasus darurat.

"C'mon.. C'mon!", desis dokter Rudy sambil melirik monitor di atas kepala pasiennya, "Jangan menyerah sekarang, please!"

Dentang-denting gunting dan berbagai peralatan memenuhi ruang operasi yang terang berderang tetapi mencekam itu. Walau sudah berkali-kali ikut dalam operasi seperti ini, suster kepala terkadang ikut tegang juga. Apalagi kalau pasiennya muda belia seperti yang sekarang tergeletak di meja di depannya. Betapa sayangnya kalau tubuh tegap penuh vitalitas itu harus kehilangan roh semuda ini. Padahal, pasti banyak yang masih bisa dikerjakannya dalam hidup.

**********

Indi menyuap supermi pelan-pelan. Tadi, seorang suster menyedot banyak darah dari lengannya. Setelah Indi, giliran Rima yang meringis melihat botol plastik di sebelahnya cepat sekali penuh oleh darahnya. Kini dua gadis itu kini duduk berdampingan menikmati supermi yang katanya untuk mengganti darah yang tersedot tadi.

"Kamu sempat lihat luka Kino?" tanya Rima sambil mengunyah.

Indi menggeleng, "Tapi, saya lihat celana pak polisi yang memangkunya dari tempat kejadian sampai di sini... Penuh darah"

Rima bergidik, tak mau bertanya lagi. Ia tak suka darah. Apalagi darah Kino. Ia sudah pernah melihatnya sekali, ketika pemuda itu berkelahi dengan Ridwan, darah mengalir dari hidungnya. Merah sekali warnanya.

"Sempat bertanya ke dokter?" tanya Rima.

"Dokter hanya bilang, lukanya cukup parah," kata Indi menghentikan suapannya dan menyeka mulutnya dengan tisu.

Rima terdiam. Berapa "cukup"-kah "cukup parah" itu? Atau mungkin lebih tepat: berapa "parah"-kah "cukup" itu? Gadis tomboy itu menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. Kadang-kadang ia ingin jadi ahli bahasa agar bisa memahami segala sesuatu yang serba samar di dunia ini. Mengapakah selalu ada kesamaran ketidakjelasan kekurangartian di dunia ini? keluhnya dalam hati.

"Tetapi Mas Kino akan tetap sehat...," terdengar Indi berbisik.

Rima menengok. Tadinya ia ingin mengatakan "ya", tetapi tidak jadi karena dilihatnya kedua mata gadis manis di sebelahnya berkaca-kaca. Wajahnya keruh, menunduk menekuni supermi di depannya.

Lalu Indi tersedu pelan. Rima merengkuh bahunya. Keduanya berpelukan. Supermi pun akhirnya terlupakan. Lamat-lamat terdengar sedu keduanya. Malam semakin pekat. Ruang emergency semakin mencekam. Sebuah ambulans meraung-raung masuk ke halaman. Satu lagi pasien masuk ruang operasi.

**********

Lapangan luas yang menjadi tempat Kino berpijak ternyata adalah sebuah medan yang bergerak. Pemuda itu melihat ke bawah, ke kakinya, dan baru tahu bahwa telapak kakinya terbenam dalam asap pekat. Jadi, pikirnya, aku berdiri di atas awan. Pantas kini aku merasa melayang dan bergerak terbuai-buai.

Kino menengok ke luar jendela, dan baru sadar bahwa jendela itu adalah jendela pesawat terbang yang sedang bergerak cepat. Di bawah, ia melihat sebuah kota kecil yang tak terlalu hiruk-pikuk. Ia terbang di atas sebuah pasar. Ia mengenali kios-kios kecil dan kumuh para pedagang sayur dan bumbu dapur. Ia mengenali gedung bioskop satu-satunya di kota itu, yang dinding sebelah selatannya selalu dihindari banyak orang, karena baunya yang pesing. Banyak orang kencing di sana kalau tidak tahan lagi, karena toilet di bioskop sering terkunci. Kino tertawa sendiri mengenang semua itu.

Hei, stop! Kino hendak berteriak tetapi mulutnya tak bisa dibuka. Ia ingin berteriak kepada sang pilot agar berlama-lama di atas sebuah rumah batu tua dengan halaman yang tak terlalu luas.... Itu rumahnya, dan ia lihat seorang anak perempuan sedang main lompat tali sendirian. Susi! Itu adikku yang paling cantik di dunia.... Kino melambaikan tangannya, tetapi Susi tak membalas. Mungkin aku terbang terlalu tinggi, pikir pemuda itu.

Kino mengalihkan pandangan dari jendela. Ia melihat ke kiri dan ke kanan, kalau-kalau ada petunjuk di mana gerangan pintu. Di ujung sana, sinar gemerlap yang teduh itu masih berbinar-binar. Rasanya makin dekat saja. Di ujung lain, ia lihat sebuah tangga. Aha!... Mungkin tangga itu berakhir pada sebuah pintu ke kamar sang pilot. Aku ingin bicara dengannya, pikir Kino.

Kino meninggalkan jendela, melangkah menuju tangga. Tetapi.... ia ragu-ragu. Mengapa tangga itu gelap sekali? Pikirnya risau. Dan tampak seram pula. Ah.., untuk pertamakalinya ia merasakan takut di tempat aneh ini. Sebelumnya, ia cuma merasa senang-riang, selalu ingin tersenyum. Kini... Ia berhenti melangkah. Menengok ke ujung yang satunya: Terang berderang dan tampak ramah pula. Menengok ke ujung yang lain: Gelap gulita dan penuh misteri... Kino gundah: ke mana ia harus melangkah?

**********

"Perdarahannya berhenti, Dok!" lapor suster kepala; ada nada harapan di suaranya. Dokter Rudy cuma bergumam, tetap tekun menjahit luka yang menganga di dahi Kino.

"Jantungnya tetap tidak stabil, Dok!" lapor suster yang lain. Suster kepala menengok ke monitor, dan wajahnya langsung tersaput risau.

"C'mon.. C'mon!", desis dokter Rudy sambil melirik monitor di atas kepala pasiennya, " Hang in there, buddy!"

Dokter itu berharap agar kemauan hidup pasiennya muncul di saat kritis ini. Jika tidak, ia kuatir pemuda ini akan tergelincir ke alam coma. Ia belum tahu status kerusakan pada otak pasiennya; ia masih berkonsentrasi menstabilkan tubuhnya yang banyak kehilangan darah. Kalau benturan ke aspal itu sampai menimbulkan luka di jaringan otaknya, dan kalau fighting spirit pemuda ini lemah...... Dokter Rudy menggeleng-gelengkan kepalanya.

"C'mon.. C'mon!", desis dokter Rudy untuk kesekian kalinya, "Jangan menyerah sekarang, please!"

**********

Ridwan duduk di sebelah Tigor. Keduanya diam menekur lantai sambil memegangi kapas yang tertempel di lipatan siku masing-masing. Keduanya sudah selesai diambil darahnya, dan sedang menunggu supermi menjadi cukup dingin untuk disantap.

Trista datang dan duduk dekat Ridwan. Pemuda itu menggeser, memberi tempat sambil tersenyum kikuk. Tigor ikut bergeser, sehingga kini ia duduk di ujung bangku, nyaris terlempar ke luar.

"Hai," sapa Trista dengan suara sengau karena banyak menangis. Senyumnya terkembang lemah, tetapi sudah cukup membiaskan kecantikannya yang mempesona. Tigor menunduk menghindari tatapannya, tetapi sempat tersenyum menjawab teguran wanita itu.

"Ada yang tahu cara mengontak orang tua Kino?" tanya Trista sambil menatap dua pemuda di sampingnya satu per satu.

"Saya sudah menelpon mereka," sahut Ridwan cepat. Tigor diam saja.

Trista tersenyum lega, "Kalian bersahabat seperti bersaudara, ya?!" ucapnya perlahan nyaris berbisik, dan Ridwan menangkap dua macam nada di suara wanita itu: perasaan terimakasih, dan permintaan maaf. Tetapi kenapa minta maaf? Ridwan ingin bertanya, tetapi kenapa pula harus bertanya tentang interpretasinya sendiri... Jangan-jangan itu cuma interpretasinya.

Selagi Ridwan sibuk dengan interpretasinya, justru Trista berucap pelan, "Saya minta maaf..."

Ridwan menoleh. Tigor juga mengangkat mukanya. Kedua pemuda itu menemukan sebuah wajah cantik dengan sepasang mata yang sangat indah. Pantas Kino jatuh cinta kepada bidadari ini, bisik Ridwan dalam hati. Gila betul matanya seperti berlian, bisik Tigor dalam hati.

"Kenapa minta maaf?" tanya Ridwan cepat-cepat, sebelum ia lupa pertanyaannya.

Tristantiani menatap kedua pemuda di depannya. Bibirnya bergerak, tetapi tak ada suara keluar dari sana. Ridwan dan Tigor menunggu dengan tegang. Pandangan mereka terpaku pada bibir yang indah itu... Apa yang hendak disabdakan bidadari ini? pikir Tigor sambil membandingkan mana yang lebih merah: bibir Tris atau tomat yang tadi pagi dimakannya...

"Saya belum bisa menjelaskannya sekarang...," akhirnya Tris mendesahkan sepotong kalimat yang bisa tertangkap telinga Ridwan dan Tigor. Lalu wanita itu menunduk. Ridwan segera ikut menunduk. Tigor juga kemudian menunduk, setelah sempat mengambil kesimpulan: bibir Trista lebih merah daripada tomat.

Seorang suster mengingatkan bahwa supermi di depan mereka sudah dingin.

**********

Malam itu juga, di sebuah rumah di sebuah kota kecil, ada kesibukan ekstra...

"Aku ingin ikut menengok Mas Kino...," Susi memohon sambil sesenggukan. Ibu memeluknya, merengkuh kepala gadis kecil itu. Susi menangis makin keras di pelukan ibunya.

"Tidak usah. Biar Ayah yang pergi dahulu. Nanti kalau sudah tahu perkembangannya, kamu dan Ibu boleh menyusul." jawab Ayah tegas. Lelaki ini risau sekali sejak mendengar telepon yang mengabarkan putranya terkena musibah. Ia memutuskan untuk berangkat sendirian, selain untuk menghemat uang, juga untuk memastikan apa yang sesungguhnya terjadi. Kalau berangkat sendirian, ia bisa bergerak lebih cepat. Malam ini juga ia bisa menumpang truk barang sampai di kota kabupaten. Lalu dari sana naik kereta-api tengah malam ke kota propinsi.

Ibu sejak tadi diam saja. Ia tidak panik, tetapi kerisauannya tentu melebihi siapa pun juga. Ia melahirkan Kino, dan ia lah yang tahu persis apa arti kehilangan seorang anak. Maka ia juga tahu persis, bagaimana bersiap jika kehilangan itu harus terjadi. Ia sesungguhnya yang paling siap di antara siapa pun di dunia ini: siap menerima yang terburuk, siap memberikan yang terbaik. Begitulah kemuliaan wanita yang kita panggil Ibu itu!

Malam seperti lebih pekat dari biasanya, ketika akhirnya Ayah selesai berkemas, memanggul ranselnya, lalu bergegas keluar rumah. Susi dan Ibu berdiri sejenak termangu di pintu, mengantar Ayah dengan pandangan penuh harapan.

Lalu Ayah menghilang ditelan gelap. Susi tak lagi menangis. Ibu mengajaknya masuk dan berdoa untuk Kino.

**********

Apakah kesedihan bisa dinyanyikan dengan nada riang?

Kino menebar pandangan ke sekelilingnya. Ia mendengar suara-suara nyanyian. Ia tidak bisa memastikan darimana datangnya, tetapi suara itu jelas sekali di telinganya. Ia juga tidak bisa memastikan apakah itu betul sebuah nyanyian, atau kidung, atau gumaman .... Dan apakah itu sebuah kesedihan yang diartikulasikan lewat keriangan... atau sebuah rasa gembira yang dinyanyikan dengan sedih.

Kino duduk di sebuah batu besar berwarna hijau pekat yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya. Ia kembali memperhatikan kedua ujung lapangan abu-abu pekat tempat kini ia berada. Ia kembali bertanya-tanya: kemana sebaiknya aku melangkah. Ke sinar yang lembut ramah itu, atau ke tangga yang gelap misterius itu?

0 komentar:

 

Blog Saru © 2008 using D'Bluez Theme Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez Based on FREEmium theme