22 April 2009

Para Sahabat Datang dan Pulang

Tris dan Kino bagai dua burung yang lepas dari kukungan sangkarnya, terbang lincah dan liar di angkasa terbuka. Juga bagai dua pengelana dahaga yang menemukan oasis sejuk berlimpah air di tengah padang pasir gersang. Mereka reguk segala kebebasan bagai tiada lagi hari esok. Hampir setiap waktu luang mereka gunakan untuk bercengkrama atau bercumbu, tak peduli pagi, atau siang, atau malam. Badai gairah cinta-birahi menerbangkan mereka tinggi sekali, menebus mega kesadaran menuju puncak-puncak kenikmatan yang seringkali beriringan dengan kealpaan.

Ridwan menahan geram ketika ia mengetahui hubungan dua anak manusia itu sudah sangat jauh. Selain dia, Rima juga mulai mengenali keganjilan Kino. Sudah tiga kali dalam seminggu yang lalu Kino membolos kuliah. Belum pernah sepanjang persahabatannya dengan pemuda itu, Rima melihat Kino begitu mudah meninggalkan studi.

Di bawah pohon asam dekat gerbang utama kampus, Rima mendesak Ridwan agar menceritakan apa yang terjadi dengan sahabat mereka. Geram sekali gadis ini menyadari bahwa sahabat yang diam-diam dipujanya itu ternyata terpikat oleh wanita lain. Lebih geram lagi ketika ia kemudian tahu bahwa wanita itu sudah bersuami!

"Kamu selama ini rupanya sudah tahu banyak tentang mereka!" sergah Rima gemas, karena merasa disingkirkan dari jaringan persahabatan mereka.

"Siapa yang kau maksud dengan 'mereka'?" jawab Ridwan pura-pura tidak tahu.

"Jangan pura-pura bloon!" sergah Rima lagi sambil menatap tajam. Ridwan menghindari tatapan itu, mendongak menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi.

"Mengapa Kino sampai begitu, Rid?" desak Rima. Ridwan menunduk, memainkan kerikil dengan ujung sepatunya. Itu pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Ia sendiri tidak tahu jawabnya. Kata orang, begitulah kalau cinta telah melanda kalbu. Tetapi, apa itu cinta, Ridwan tak pernah bisa memahaminya lebih jauh. Terlebih lagi, mengapa orang bisa begitu mencintai seseorang, sampai berani mengambil risiko besar? Ah, itulah justru misteri yang selama ini tak pernah ia bisa pecahkan.

Terdengar langkah orang mendekat. Mereka berdua menengok; rupanya Tigor yang datang dengan dahi berkernyit serius.

"Gila betul si Kino itu!" ucap pemuda itu dengan logat daerahnya yang kental.

"Ada apa?" tanya Rima dan Ridwan berbarengan.

"Aku lihat tadi dia bersama perempuan itu lagi, naik mobil ke arah selatan," kata Tigor sambil menghenyakkan pantatnya, duduk di sebelah Ridwan.

"Kenapa kau bisa bertemu mereka?" tanya Rima, sementara Ridwan membisu. Pikiran pemuda ini berkecamuk hebat, karena sebetulnya ia sudah mendengar selentingan kabar bahwa salah seorang penjaga dan perawat villa milik Tris sudah tahu tingkah tuan putrinya itu.

"Aku iseng ingin ke tempat kostnya, pagi-pagi sekali," kata Tigor, "Tapi, baru aku sampai di tikungan menjelang jalan ke sana, aku lihat di kejauhan si Kino naik ke mobil putih itu. Aku kebut lah, motorku. Kukejar mereka, tapi tak aku salip.."

"Apakah Kino melihatmu?" Ridwan membuka mulut juga akhirnya. Tigor menggeleng. Rima menghembuskan nafas kuat-kuat. Lalu ketiganya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Baiklah aku ceritakan saja siapa perempuan itu..," kata Ridwan akhirnya sambil memperbaiki letak duduk. Segera saja Rima dan Tigor menengok dan menatap pemuda itu dengan seksama. Rima duduk di sebelah kiri, sehingga kini Ridwan terapit oleh dua sahabatnya. Kalau ada orang melihat dari kejauhan, niscaya mereka melihat pemandangan indah: tiga sahabat muda bercakap-cakap serius seksama, di bawah teduhnya pohon asam yang rindang, di tengah siang yang terik.

Tentu orang lain tak tahu, bahwa yang mereka bicarakan adalah sesuatu yang sangat menggelisahkan. Berkali-kali terlihat Rima menghela dan menghembuskan nafas panjang. Tigor juga kelihatan gelisah, mengusap-usap rambutnya yang keriting berkali-kali; seakan-akan dirambutnya itu ada sesuatu yang harus disingkirkan jauh-jauh. Apa yang diceritakan oleh Ridwan membuat Rima dan Tigor terkesima. Terutama ketika akhirnya Ridwan menceritakan pula gosip yang kini sudah tersebar di keluarga Tris, akibat cerita mulut ke mulut di kalangan penjaga dan perawat villa.

*******

Sementara itu, di saat yang sama, tetapi puluhan kilometer jauhnya dari tempat ketiga sahabat itu berbincang-bincang, Kino sedang tenggelam dalam lautan birahi. Tubuhnya yang penuh vitalitas muda itu berkeringat, bergerak naik turun dengan ganas di atas tubuh putih mulus yang menggelinjang-gelinjang penuh gairah. Suara desah bercampur erangan dan rintihan memenuhi kamar yang luas di villa asmara itu. Derit dan derik ranjang ikut meningkahi, menambah semarak dan seronok suasana. Dua buah bantal tampak berserakan di lantai, di atas beberapa helai pakaian yang tampaknya dibuka tergesa-gesa dan dilemparkan begitu saja oleh pemiliknya.

"Oooh, Kino... lebih cepat lagi... ooooh...," Trista terdengar mendesah merintih, sambil melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda itu, menarik kepala Kino lebih tenggelam lagi di lekuk-liku pangkal lehernya.

Wanita yang bertubuh padat dan seksi ini terlihat memejamkan matanya menikmati persetubuhan yang menggelora itu. Keringat telah tampak pula di tubuhnya yang mulus, terutama di lehernya yang jenjang itu,.. di dadanya yang terhenyak oleh dada Kino.., di bahunya yang melengkung indah itu,.. di punggungnya yang melenting menggeliat tinggi di atas kasur,.. di bokongnya yang padat dan tak hentinya bergerak-bergetar gelisah ..

"Mmmh... yaaa...mmmh..," Kino cuma bisa mengerang sambil terus menciumi leher Tris yang sudah basah oleh keringat.

Otot-otot di tubuh pemuda ini sedang berjuang keras memenuhi tuntutan birahi pemiliknya dan perempuan yang sedang disetubuhinya. Ia seperti berenang-renang di lautan liat kenyal yang hangat dan berdegup-berdenyut. Seperti tenggelam dalam sponge dan jelly raksasa yang selalu bergerak-gerak liar. Seperti terperangkap oleh otot halus tapi kuat yang erat mencekal sepanjang batang tegang tegak kelaki-lakiannya.

"Aaaah... ," Trista mengerang, mengangkat tinggi-tinggi kedua kakinya, memeluk tubuh pemuda itu.

Wanita itu merasakan hujaman tikaman kejantanan Kino semakin lama semakin terasa nikmat, memenuhi seluruh rongga kewanitaannya yang berdenyut-denyut liar di bawah sana. Hujaman itu juga semakin dalam, mendesak jauh sampai ke langit-langit paling belakang dari liang licin yang bagai berdecap-decap ikut menikmati perjalanan asmara yang membara Ini adalah untuk kesekian kalinya ia mendaki puncak asmara. Sudah tiga kali tadi ia menggelepar-gelepar menikmati orgasmenya.... betul-betul hebat percumbuan mereka.

Belum pernah sepanjang masa perkawinannya Trista mengalami kenikmatan hubungan badan yang begini memabukkan. Kino tadi menyetubuhinya di lantai, memberikan dua orgasme yang datang cepat bagai angin taifun. Lalu pemuda itu mengangkatnya ke ranjang, dan memberikan satu lagi orgasme susulan yang bagai merupakan penjumlahan dari dua orgasme sebelumnya.

Kino menghujam-hujamkan kejantanannya dengan bergairah. Oh, sudah beberapa kali ini mereka bercumbu, dan Kino benar-benar ketagihan dibuatnya. Tidak saja ia menikmati birahi badani, tetapi ia juga merasa sangat berbahagia bisa membuat bidadari pujaannya mengerang-erang nikmat. Bagi Kino, baru kali inilah hubungan seksual mempunyai makna yang lebih daripada sekedar ejakulasi. Setiap kali mereka berhubungan, Kino merasa mempunyai kesempatan untuk memberikan kebahagian sebesar-besarnya kepada wanita yang telah menyita seluruh perhatiannya ini. Sebagai pemuda desa yang tak berpenghasilan, hanya itulah yang bisa ia berikan kepada Trista.

Kino juga tiba-tiba menjadi semakin ahli dalam bercumbu, padahal tidak ada yang mengajarinya, kecuali dulu Mba Rien yang memperkenalkannya pada misteri seksual wanita. Dengan hanya mengikuti instingnya, Kino melayani gairah birahi Tris yang ternyata juga sangat berkobar-kobar itu. Setiap permintaan Tris dipenuhinya, bahkan kalaupun ia tidak mengerti apa permintaan itu pada mulanya.

Seperti tadi, ketika mereka baru memulai percumbuan di sofa di kamar tengah, Tris meminta Kino menciumi perutnya. Sambil tertawa manja, perempuan itu menuntun kepala Kino ke tempat-tempat yang disukainya. Mula-mula Kino menciumi belahan atas perut itu, sedikit di bawah dua bukit payudaranya yang menjulang indah. Hmmm... harum dan halus mulus kulit perut Trista, membuat pemuda ini bersenang hati berlama-lama menciumnya. Entah kenapa ia sejenak berhayal bisa masuk ke dalam perut yang tampak lembut bergetar itu.., mungkinkah ia bisa mencelup kedalam rahim wanita yang selalu menggugah kalbunya itu.., bisakah ia bernafas di dalam rongga hangat di sana?

Lalu Trista mengerang pelan, berbisik, "..agak ke bawah lagi, Kino...", dan pemuda itu pun menurutinya, menciumi pusar-nya yang bagai sebuah noktah malu-malu bersembunyi di cekungan perut Trista. Secara instingtif, Kino mengeluarkan lidahnya, menjilati liang pusar itu ..... membuat pemiliknya menggelinjang sambil menjerit kecil, " aww.. geli, Kino..".

Tentu saja Kino tak peduli pada protes tak bermakna itu. Ia terus menjilat. Trista terus mengerang dan memprotes. Permukaan perutnya naik dan turun semakin kuat, seperti lautan yang bergelombang oleh gempa tektonis di dasarnya. Dan Kino seperti perahu nelayan yang sukarela diayun-ayun gelombang itu. Naik, turun.., naik, turun,.. naik, turun.. Lama sekali rasanya, membuai-buai, berulang-ulang.

Lalu Kino semakin turun lagi, bagai ditarik sebuah kekuatan magnit.

Mulut dan hidungnya menyusur ke bawah, bagai dituntun sebuah tali ajaib yang tak terlihat mata. Trista mendesah, memejamkan matanya kuat-kuat bagai sedang menunggu sebuah kejadian yang tak terduga. Bagai seorang pesakitan yang sedang menanti keputusan hukuman. Bagai seorang mahasiswa yang berdebar menunggu ganjaran. Kedua tangannya tak lagi berada di kepala Kino, melainkan mencengkram kain sofa kuat-kuat. Oh,... akankah ia melakukannya? Hatinya bertanya, sekaligus berharap. Seperti apakah nanti rasanya.., Trista belum pernah merasa setegang dan seberdebar ini sepanjang hidupnya.

Lalu Kino sampai di daerah itu .... sebuah segitiga kehitaman yang memagari sebuah wilayah hangat yang merekah bagai bunga di musim semi.

Aroma birahi memenuhi penciumannya, dan Kino bagai takjub memandang milik paling pribadi dari bidadari pujaannya. Dekat sekali ia bisa memandang lembah basah yang terlihat membuka bagai mengundangnya untuk datang lebih dekat. Ada lepitan dan bukit-bukit kecil yang tampak empuk menyembunyikan sebuah tonjolan memerah-muda yang bagai mengintip dari tempat persemaiannya. Segalanya yang terlihat Kino dari dekat itu seperti memiliki kekuatan magis, menarik mukanya untuk lebih mendekat lagi .... Lebih dekat lagi.... Dan lagi.

"Aaah!" terdengar Tris mendesah pendek dan keras.

Sebuah serbuan kenikmatan yang tiada tara menyengat kesadarannya, membuatnya seperti dilemparkan tinggi-tinggi ke angkasa kenikmatan. Lidah Kino menyentuh titik tersembunyi yang selama ini menjadi sumber birahinya!

Lalu Kino semakin bergairah, menggunakan lidah, bibir, hidung, mulut dan seluruh mukanya untuk menjelajahi lembah asmara yang kini terbuka lebar itu. Tris mengangkangkan pahanya, memberikan keleluasaan kepada pemuda itu. Tubuhnya menggeletar hebat, tetapi ia berusaha keras agar tetap berada di atas sofa, mencengkram pinggiran sofa kuat-kuat dengan kedua tangannya. Selama tak kurang dari 15 menit Kino memberinya kenikmatan luar biasa dengan permainan yang sangat pribadi dan sangat alami itu. Betapa panjangnya tali kenikmatan yang teruntai darinya!

Lalu Tris tak tahan lagi. Ia menarik tubuh Kino sekuat tenaga agar pemuda itu menindihnya di atas sofa. Tetapi lalu mereka malah jatuh berdua ke lantai yang tertutup karpet tebal. Dan tanpa basa-basi, keduanya langsung memulai hubungan badan dan berderap bersama menuju puncak asmara. Trista langsung memperoleh hadiah orgasmenya yang pertama dari percumbuan itu.

Kini, perempuan itu kembali menuju puncak asmara di atas ranjang yang sudah tak karuan bentuknya. Kino menegakkan tubuhnya, bertelektekan dengan kedua tangannya yang kokoh bagai sedang bersiap untuk push-up. Trista mengangkat kedua kakinya lebih tinggi lagi, menyangkutkannya di bahu pemuda itu, sehingga pantatnya terangkat dari permukaan kasur dan kewanitaannya semakin terkuak siap menerima serbuan batang keras pejal kenyal yang terus-menerus keluar-masuk tak kenal lelah.

"Kino... ooooh... aku.... ooooh," Trista mengerang tidak karuan, " tak tahan... oooh.. lagi... ooooh..."

Pemuda itu tak menjawab. Ia sendiri sedang sibuk mengendalikan dirinya, berusaha agar serbuan kenikmatan yang kini memenuhi tubuhnya tidak tumpah ruah tak terkendali. Ia mengatupkan kedua rahangnya erat-erat, berkonsentrasi penuh menggenjot tubuh bagian bawahnya. Sesekali ia mendesis merasakan kegelian-kenikmatan meluncur menuju ujung kejantanannya, dan ia pun berhenti sejenak kalau sudah demikian, agar tak terlanjur lepas dalam pancuran ejakulasi. Tetapi, tentu saja ia tak bisa terus menerus bertahan. Apalagi kemudian Trista mengalami orgasme ketiganya yang sangat intens. Ia menggeliat dan mengerang panjang, sementara liang kewanitaannya berkontraksi dalam denyut yang kuat dan liar.

Kino merasakan kejantanannya bagai diremas-remas sebuah otot halus liat dan hangat. Ia tak tahan lagi. Cepat-cepat ia mengeluar-masukkan batang pejal kenyal itu sekuat tenaga. Menghujam-menikam sedalam mungkin. Mendorong-mendesak sekeras mungkin. Semakin lama semakin cepat... semakin cepat.... semakin cepat... semakin cepat ....

"Oooooh... ohhhh.... ohhhh', jeritan-jeritan Trista semakin lama semakin keras dalam interval yang semakin pendek.

"Aaaaah!" Kino mengerang keras tak sanggup lagi menahan jebolnya tanggul pertahanan, .... membiarkan cairan cintanya yang hangat dan kental menyerbu keluar, .... meluncur pesat di sepanjang buluh daging yang sudah menegang maksimal itu, .... memuncrat dengan kuat memenuhi kewanitaan Tris.

"Oooooooooh!' Tris menjerit panjang dan lepas, melentingkan tubuhnya bagai sedang menerima tikaman panjang yang mematikan.

Seluruh tubuhnya bergetar berguncang hebat, membuat tubuh Kino yang berada di atasnya ikut terlonjak-lonjak.

******

"Kita harus memberinya peringatan!" sergah Tigor sambil mengepalkan tinju.

"Aku sudah melakukannya berkali-kali!" sergah Ridwan sambil menahan geram.

"Kita coba lagi!" seru Rima sambil bangkit dan mengguncang lengan Ridwan.

"Kita cari dia sekarang!" seru Tigor sambil bangkit pula dan ikut-ikutan mengguncang lengan Ridwan. Pemuda itu bagai sebuah pohon lunglai diguncang kekiri dan kekanan oleh dua sahabatnya. Rambutnya yang agak gondrong jadi terurai-urai menutupi sebagian mukanya.

"Sudah... sudah... kenapa aku yang kalian guncang-guncang!" sergah pemuda itu sambil menepis tangan Rima dan Tigor.

"Ayo kita ke villa itu. Mereka pasti di sana!" seru Tigor sambil melepaskan cengkramannya dari lengan Ridwan.

"Untuk apa kita ke sana?" tanya Ridwan sengit. Ia masih merasa tidak wajar jika harus ikut campur sejauh itu. Walau bagaimana pun, diam-diam Ridwan mengakui bahwa Kino punya segala hak untuk jatuh cinta, terlepas dari kenyataan bahwa wanita yang dicintainya adalah istri orang lain.

"Kita bisa mengajaknya bercakap-cakap. Menyadarkan risikonya, Rid!" ucap Rima dengan suara tinggi. Gadis ini sungguh kuatir mendengar cerita Ridwan tentang gosip hubungan Kino ke telinga keluarga Tris. Bagaimana kalau suaminya marah dan kalap?

"Dia sudah tahu risiko itu!" sahut Ridwan dengan suara yang juga meninggi.

"Goblok sekali dia!" sergah Tigor sambil menendang sebuah batu kecil. Batu itu terlontar cukup tinggi, jatuh bergelindingan di trotoar dan membentur kaki seorang mahasiswa. Sesaat mahasiswa itu mengangkat kepalanya, mencari sumber gangguan. Tetapi ketika pandangannya bertumbuk dengan sepasang mata Tigor yang garang, mahasiswa itu cepat-cepat berlalu tanpa basa-basi.

"Memang!" sahut Ridwan dengan tak kalah geram, "Goblok dan nekad!"

"Ayolah kita ke sana," Rima merajuk sambil menarik tangan Ridwan.

"Ayolah!" ucap Tigor memberi dukungan.

Ridwan menatap kedua sahabatnya. Ia melihat bayang-bayang kesungguhan di muka mereka. Terlebih lagi di muka Rima, yang juga dipenuhi warna kekuatiran. Ridwan menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Ia tidak punya alasan lagi untuk menolak ajakan mereka.

"Ayolah...," ucapnya lemah, lalu mulai melangkah gontai menuju tempat parkir.

Tak lama kemudian, VW merah berisi tiga sahabat itu terlihat meluncur meninggalkan kampus menuju selatan.

******

Suara burung berkicau terdengar jelas dari dalam kamar tempat Kino dan Tris tergeletak lunglai. Hari sudah menjelang sore, dan burung-burung tampaknya baru tiba kembali setelah seharian tadi berkelana mencari makan. Alam tampak ramah, menyembunyikan sinar terik mentari di balik awan tebal, tetapi tidak memberikan hujan. Angin berhembus sejuk sepoi-sepoi membelai dedaunan yang tampak bergerak pelan seperti orang-orang yang sedang bermalasan.

Tris merebahkan kepalanya dengan manja di dada Kino yang masih lembab oleh keringat. Ia memejamkan mata, menikmati sisa-sisa amukan badai birahi yang berputar-berkecamuk di seluruh tubuhnya. Sendi-sendinya terasa pegal tetapi juga nikmat. Pinggangnya terasa sakit tetapi juga nikmat. Kewanitaannya terasa sedikit perih tetapi juga nikmat. Ah, betapa banyak ironi di tubuhnya, betapa banyak ketidak-setaraan di badannya.

Kino sejenak terlena, membiarkan kantuk memenuhi kepalanya. Tubuhnya terasa letih seperti seorang petani yang mencangkul seharian. Badannya terasa ringan melayang-layang. Seluruh isi tubuhnya seakan keluar tumpah ruah bersama puncak asmaranya. Kini ia bagai wadah kosong yang terapung dalam lautan luas tak berbatas. Sebagai ganti isi tubuhnya, sebuah perasaan hangat dan indah kini bermunculan. Mungkin inilah pengejawantahan kebahagian badaniah yang berjalinan dengan ketulusan cinta.

"Capek?" bisik Tris melihat kedua kelopak mata pemuda itu perlahan membuka.

"Hmm..," Kino menggumam, meraih rambut bidadarinya yang tergerai menutupi sebagian mukanya. Rasa sayang memenuhi dada pemuda ini. Perlahan dan lembut ia membelai kepala yang tergeletak lunglai di dadanya itu.

Trista memejamkan matanya, membiarkan usapan pemuda itu membiaskan kelembutan keseluruh tubuhnya. Semakin lama semakin jelas bagi wanita ini, betapa berbedanya sebuah persetubuhan yang disertai rasa sayang. Betapa dingin dan hambarnya persebadanan yang selama ini ia alami bersama suaminya. Tak ada pembukaan yang bergelora, karena lelaki itu serba tergesa. Tak ada penutup yang penuh kemanjaan seperti ini, karena lelaki itu segera meringkuk tidur meninggalkan dirinya terlentang dengan tubuh bagai sehabis dirajam. Dengan Kino, segalanya serba nikmat dan berkepanjangan. Pemuda ini benar-benar maestro cinta baginya.

Tiba-tiba mereka tertawa berdua, karena perut Kino berkeriuk keras tanda lapar. Sejak tiba siang tadi, mereka tak ingat makan. Sejak dalam perjalanan mereka sudah dipenuhi hasrat untuk bersebadan. Tak sempat lagi mereka memikirkan makanan atau minuman.

"Aku bikin spaghetti, ya!?" ucap Tris sambil bangkit dalam keadaan tetap telanjang.

Kino tetap berbaring, memandang kagum ke tubuh bidadari di hadapannya. Sempurna dan tanpa cela. Cantik molek dan mengagumkan sekali wanita ini, pikir Kino sambil menjelajahi seluruh lekuk liku tubuh Tris yang sengaja berlambat-lambat mengenakan rok dan bajunya. Wanita ini tahu Kino sedang memandanginya. Ia suka sekali dipandangi seperti itu, seperti dipuja-puji lewat sorot matanya yang hangat bergairah dan tulus terbuka itu. Ia suka sekali!

"Perlu bantuan?" tanya Kino sambil mulai bangkit.

"Nggak!" sergah Tris, "Kamu nanti malah bikin kacau.."

Kino tersenyum. Pasti ia akan membikin kacau. Ia tak pernah bisa menahan diri untuk tidak menciumi wanita pujaannya itu kalau mereka sedang berduaan. Maka ia kembali berbaring, memandang bidadarinya menghilang dari pandangan.

Baru saja Tris lenyap di balik pintu, sebuah tuter mobil yang sangat dikenal Kino membuat pemuda ini terlonjak bagai tersengat kala jengking. Astaga, apakah itu temanku? Ujarnya gelisah sambil bangkit menuju jendela yang menghadap halaman depan. Posisi rumah yang agak tinggi dari halaman menyebabkan Kino leluasa melihat siapa saja yang mendekati villa ini dari jalan raya. Dan apa yang dilihat Kino membuat pemuda ini terkesiap.

"Siapa itu, Kino?" seru Tris dari arah dapur karena ia juga mendengar suara tuter mobil berkali-kali.

Kino tidak menjawab. Ia bergegas mengenakan celana dalam dan jeans-nya. Terburu-buru memakai t-shirt dan berlari keluar tanpa alas kaki. Jantungnya berdegup kencang. Benaknya dipenuhi pertanyaan.

"Kino?" teriak Tris lagi dari dapur, kini dengan nada heran karena ia dengar pemuda itu tergesa-gesa menuju ruang tamu.

Setelah dua kali memanggil tanpa mendapat jawaban, wanita itu pun keluar dari dapur setelah memastikan oven menyala memanasi spaghetti yang sudah siap sejak pagi tadi.

Tris mengintip dari balik gorden ruang tamu. Di halaman villa ia melihat Kino bertolak pinggang. Di depan pemuda ini ada tiga remaja yang tak dikenalnya. Siapa mereka? Tanya Tris dalam hati. Dan mengapa suasananya begitu tegang.

Salah seorang dari remaja pria itu tampak menunjuk-nunjuk muka Kino dan berbicara seperti orang marah, tetapi dengan suara tertahan. Dari tempatnya berdiri, Trista tidak bisa mendengar percakapan mereka. Tetapi dari wajah-wajah mereka, wanita ini bisa menduga bahwa ada ketidak-beresan di luar sana. Maka setelah merapikan rambut dan bajunya, Trista membuka pintu dan melangkah keluar.

Tigor yang pertama kali melihat wanita itu melangkah keluar seperti seekor burung merak keluar dari sarangnya. Ia menyikut Rima yang berdiri di sebelahnya, dan gadis itu menoleh ke arah pintu ruang tamu. Mulut Rima segera membuka, sedikit menganga melihat seorang wanita dengan muka seperti bersinar cerah dan senyum ramah yang seakan-akan diciptakan oleh mentari pagi. Gadis itu tidak sanggup berkata apa-apa.

Ridwan mengalihkan pandangannya dari Kino, seperti Rima ia juga terdiam melihat Trista melangkah mendekat. Dalam hati ia mengutuk-ngutuk, kenapa mau dibujuk datang kemari. Sekarang, dekat sekali di hadapannya wanita kontroversial itu menunjukkan kecemerlangan dan keindahan sejati. Bagaimana tiga cecunguk ingusan yang tak punya alasan jelas bisa berhadapan dengan dewi khayangan yang turun ke bumi lengkap dengan segala asesorisnya ini? Ridwan mengeluh dalam hati berkali-kali, mengapa tiba-tiba hidupnya jadi rumit begini.

Tigor hendak membuka mulutnya, tetapi tidak jadi. Ia tidak tahu harus berkata apa. Beberapa kali pemuda yang lebih menggemari motor daripada wanita ini melihat Trista dari kejauhan. Belum pernah ia melihat dari sedekat ini, dan ... wah-wah-wah, belum pernah ia melihat wanita sedemikian menggairahkannya. Senyumnya memikat, dengan lesung pipit samar-samar di pipi kanannya. Tetapi yang lebih mematikan kalbu adalah sorot matanya yang mungkin terbuat dari intan 24 karat: bening dan tajam. Lalu, sinar mukanya begitu kentara memancar dari wajah yang sebetulnya terlihat agak memerah seperti seseorang yang habis berolahraga pagi. Olahraga apa gerangan di sore ini? Tanya Tigor dalam hati, dan segera menemukan sebuah jawaban sendiri yang membuatnya gelisah sendiri pula!

Kino menunduk, membiarkan Tris memeluk lengannya. Kini dua pasang manusia berhadapan dengan tiga remaja yang diam terpaku. Aneh sekali pemandangan di sore yang cerah itu, sementara langit mulai menata diri untuk menyambut lembayung senja. Halaman villa tampak seperti sebuah panggung berwarna hijau berpagar tanaman bunga yang semarak. Lima aktor dan artis berdiri di tengah panggung itu, seperti sedang canggung memulai sebuah babak sandiwara kehidupan.

"Halo..," akhirnya Tris membuka suara, perlahan tetapi jelas terdengar oleh semua yang hadir.

Tigor pertama kali bereaksi dengan bergumam lalu tersenyum kaku sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Ridwan tidak menyahut, tetapi berdehem karena tiba-tiba merasa ada segumpal dahak menyedak di tenggorokannya.

"Selamat sore..," Rima berucap pelan, merasa tidak enak kalau tidak berkata apa-apa dan mengutuk-ngutuk di dalam hati mengapa dua remaja pria di sampingnya tiba-tiba berubah menjadi kerupuk gosong!

"Teman-teman mu?" tanya Tris sambil menggoyang pelan lengan Kino dan menatap muka pemuda itu. Rima menelan ludah. Duh, mesra sekali cara wanita itu memeluk lengan Kino dan memandangnya.

Kino menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya keras-keras sambil berkata pendek, "Ya! Teman-temanku..,"

"Kenapa tidak diajak masuk?" ucap Tris ramah sambil mengalihkan pandangan kepada ketiga tamu yang tak diundang itu satu persatu.

Tigor melengos, pura-pura memandang kupu-kupu yang banyak sekali berkeliaran di halaman villa. Ridwan tersenyum kikuk dan mengubah-ubah letak berdirinya dengan gelisah.

"Uh.., eh..kami cuma kebetulan lewat..," ucap Rima, lagi-lagi merasa sial ditemani bujangan-bujangan yang seperti anak ayam berhadapan dengan elang.

"Oh, ya?!" ucap Tris sambil membelalakan matanya, mengungkapkan keterkejutan yang sesungguhnya (kalau teman-teman Kino punya villa di dekat sini..., wah!).

"Umm.. ya, kami... umm.. sedang berjalan-jalan," kata Rima sambil menyikut Tigor, sementara yang disikut malah berdiri menjauh.

Trista tersenyum. Dalam hati wanita ini sebenarnya gelisah. Ia tidak tahu apa yang terjadi di antara empat remaja ini. Tetapi nalurinya mengatakan bahwa teman-teman Kino ini datang kemari untuk berurusan dengan pemuda kesayangannya itu. Dan instingnya tidak pernah salah, kalau sudah tentang Kino ia pasti benar!

"Ayolah mampir sebentar..," bujuk Trista, lalu kepada Kino, "Ayo, Kino.. ajak teman-temanmu masuk. Ada cukup banyak spaghetti untuk kita semua!"

"Tidak!" akhirnya Ridwan berucap. Semua orang menengok kepadanya, seakan-akan baru sadar bahwa pemuda itu bukan patung melainkan mahluk hidup.

Kino menghembuskan nafas lega. Ia tidak ingin teman-temannya tinggal lebih lama. Ia masih diam saja, tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak Trista hadir di antara mereka. Ia juga marah sekali, mengapa teman-temannya datang kemari dan ikut campur urusan pribadinya. Terlebih-lebih lagi, Kino juga malu karena dalam hati kecilnya ia tahu bahwa ketiga sahabat di depannya ini bermaksud baik. Tetapi kenapa musti ke sini? Kenapa seperti sedang mengintai dan berusaha memergokinya?

"Kami segera pulang..," ucap Rima kikuk, melangkah mundur perlahan menjauhi Kino dan Trista.

"Ya. Selamat sore..," kata Tigor sambil langsung berbalik mengikuti langkah Rima.

"Sampai jumpa..," kata Ridwan sambil melambai dan berbalik mengikuti langkah Tigor.

Kino diam saja, memandang tiga temannya beriringan seperti serdadu pulang dari medan perang. Trista ikut diam, memeluk erat lengan pemuda itu, merasakan ketegangan menyelimuti mereka berdua. Langit sudah mulai menampakkan semburat merah. Sebentar lagi senja tiba. Angin berhembus semakin dingin. Trista bergidik, merasakan tiba-tiba kulitnya meremang.

0 komentar:

 

Blog Saru © 2008 using D'Bluez Theme Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez Based on FREEmium theme