22 April 2009

Dalam Gelap Malami

Sudah seminggu ini Tris tidak berjumpa Kino. Siang tadi ia berniat mengontak Kino di kampusnya, berniat masuk kampus dan mencarinya saat istirahat siang. Tetapi niat tersebut diurungkan. Bukan saja karena Ria perlu dijemput, tetapi juga karena ia sendiri merasa sungkan untuk masuk kampus mencari pemuda itu. Apa kata orang nanti?

Kini, ketika matanya tak juga mampu terpejam tidur, ia menyesal kenapa tak memberanikan diri masuk kampus. Menyesal karena tadi pagi terburu-buru mengantar Ria sekolah lewat jalan lain, sehingga tidak bisa bertemu Kino. Menyesal karena merasa dirinya terlalu ragu-ragu bertindak.

Tris menggeletakkan tubuhnya setelah bosan tidur miring. Kamar tidur sudah gelap, karena Ria tak mau kalau terlalu terang. Ah, tiba-tiba darah Tris berdesir karena rasanya ia masih bisa mencium bau tubuh pemuda itu. Bau yang kini mulai diakrabinya: segar dan penuh aroma kejantanan. Tidak seperti tubuh suaminya yang terlalu penuh minyak wangi sehingga berkesan sintetis.

Ah, kini aku mulai membanding-bandingkan pemuda itu dengan suamiku, keluh Tris dalam hati.

Tris masih ingat betapa pemuda itu mengulum bibirnya dengan luapan perasaan yang apa adanya. Betapa menggairahkannya ciuman itu! Kino melakukannya dengan sepenuh hati, sehingga rasanya tidak setengah-setengah. Ketika pemuda itu mengulum bibirnya, ia melakukannya dengan penuh perasaan, membuat dirinya terbuai-buai bagai tidur di atas awan di angkasa sana. Tak sadar Tris meraba bibirnya dengan ujung jari. Ia dengan mudah bisa merasakan kembali ciuman itu. Tak mungkin ia bisa melupakannya.

Tak pula ia bisa melupakan betapa dadanya yang kenyal diremas oleh tangan pemuda itu. Oh, itulah remasan yang tak kalah menggairahkan dari ciumannya. Jemari pemuda itu seperti penuh oleh energi pembakar sukma yang mengirimkan jutaan bulir kenikmatan ke seluruh tubuhnya. Tak sadar, Tris mengerang kecil, meremas seprai dengan kedua tangannya. Ia seperti merasakan lagi remasan jemari itu di dadanya. Gesekan nilon tipis pakaian tidurnya tiba-tiba seperti mewakili remasan itu. Ia tidur tanpa beha. Oh, kedua putingnya ternyata sudah mengeras. Kenapa jadi begini? Keluh Tris sambil mengerang lagi, lalu memiringkan badannya, meraih bantal guling.

"Kino," bisiknya perlahan sambil menelungkupkan muka ke bantal, "Apa yang telah kau lakukan kepadaku?"


Tak lebih 5 kilometer jauhnya dari kamar tidur Tris, pemuda itu juga sedang terlentang di dipan di kamar kostnya dengan mata nanar memandang langit-langit. Kino juga tidak bisa tidur malam ini, walau separuh buku pelajaran paling sulit telah habis dibacanya. Entah kenapa, malam ini ia begitu merindukan Tris. Mungkin karena telah seminggu ini mereka tidak berjumpa sehabis malam yang menegangkan di lembah kebun teh itu.

Di depan mata Kino seakan-akan ada sebuah film yang diputar berulang-ulang, berisi gambar indah percumbuan mereka yang sangat singkat tetapi sangat menggairahkan itu. Bibir basah yang merekah pasrah itu, tergambar jelas di mata Kino. Harum nafasnya yang menggairahkan itu, tercium jelas di hidung Kino. Kelembutan lidah dan bagian dalam mulut itu ... hmm, semuanya terasa seperti nyata malam ini. Amat sangat nyata, sampai-sampai Kino menelan ludah berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang, seperti ketika waktu itu ia melumat bibir bidadari yang amat didambakannya. Sedang apa dia sekarang? Apakah sedang dicumbu oleh suaminya? Pikiran terakhir ini sangat mengganggu Kino, membuatnya terbakar cemburu selain birahi. Sungguh menggelisahkan!

Udara dingin menyebabkan Kino menyelimuti badannya, tetapi sentuhan selimut di atas kejantanannya yang hanya tersaput celana dalam dan sarung tipis ternyata berdampak lain. Kenangan erotis tentang Tris membuat dirinya terbakar birahi. Perlahan tapi pasti, kejantanan Kino menegang. Semakin lama, semakin tegang, berdenyut penuh gairah.

"Tris," bisik Kino, "Sedang apa kamu di sana?"

Angin dingin menimbulkan suara berkesiut di luar jendela kamar tidur Tris. Ia menelentang kembali, kini dengan mata terbelalak sepenuhnya. Kamar tidur yang senyap itu sebenarnya dingin sekali. Tetapi tubuh Tris seperti dibakar api, dan ia terkejut sendiri ketika tak sengaja tangannya menyentuh selangkangannya. Celana dalamnya agak basah, dan sebuah rasa geli yang telah lama ia tak rasakan ternyata muncul di sana. Oh, aku begitu terangsang malam ini, desah Tris panik di dalam hati.

Cepat-cepat ia memindahkan tangannya, tetapi tangan itu jatuh di atas dadanya. Untuk sejenak, ia mencoba mengatur nafasnya yang mulai terengah, tetapi tanpa diperintah tangan itu ternyata mulai meraba-raba. Tris menggelinjang. Tris mendesah gelisah. Rasa geli menyelimuti puncak-puncak dadanya. Rasa geli yang minta digaruk. Maka menggaruklah jemari-jemarinya, mengusap dan membelai pula. Dua tangan kini ada di dadanya, dua-duanya meremas, mengusap, menggaruk, membelai...

Tris mendesahkan nama pemuda itu berkali-kali dengan bisikan tertahan; kuatir Ria terbangun.

Kino meraba-raba kejantanannya. Mengerang pelan karena merasakan tubuhnya mulai bereaksi seperti biasanya, menyebabkan semua ototnya terasa menegang, bagai seorang pelari yang sedang bersiap-siap melesat dari garis start. Kejantanannya sudah menegang setegang-tegangnya. Bergetar seirama degup jantungnya yang tak teratur. Naik turun seirama nafasnya yang mulai memburu.

Mula-mula, Kino hanya mengusap-usap di atas sarungnya. Mengelus-elus perlahan, menimbulkan rasa geli yang samar-sama, seakan-akan untuk memastikan bahwa segalanya berjalan perlahan menuju tempat tujuan. Tetapi, sebentar kemudian gerakan tangannya semakin cepat, bukan lagi mengusap tetapi menguyak-uyak. Nafasnya semakin memburu. Rasa geli yang nikmat tersebar sepanjang kejantanannya yang terasa bagai batang besi panas membara.

Tris tak tahan lagi. Dengan satu tangan tetap meremas-remas dadanya sendiri, ia mengusap-usap kewanitaanya dengan tangan yang lain. Celana nilon tipis masih ada di sana, tetapi tentu saja tak mampu mencegah rasa nikmat yang datang dari telapak tangannya. Apalagi kemudian Tris menelusupkan tangan itu ke balik celana, menemukan lembah sempit di bawah sana telah basah oleh cairan cinta. Menemukan pula tonjolan kecil di bagian atas telah menyeruak keluar dari persembunyiannya, menonjol diam-diam menanti sentuhan jarinya.

Tris menggigir bibir bawahnya, tersentak bagai tersengat listrik, ketika ujung telunjuknya tak sengaja menyentuh tonjolan kenikmatan itu. Sebuah desah cukup keras menghambur keluar dari mulutnya. Untung Ria sudah terlelap sehingga mungkin tak akan terbangun walau Tris berteriak sekali pun.

Kino tak tahan lagi. Tangannya menyerbu masuk ke balik sarung, meremas batang tegang yang membara di bawah sana, yang masih terbungkus celana dalam katun. Segera ia merasakan pinggulnya bagai berubah menjadi kaldera gunung berapi yang penuh lahar menggelegak. Setiap kali ia meremas, setiap kali pula gelegak itu bagai hendak meluap keluar. Setiap kali pula ia mengerang dengan otot leher menegang seperti seorang yang sedang menahan sesuatu dengan susah payah.

Remasan tangan Kino semakin lama semakin teratur, diikuti gerakan naik turun seperti memeras. Setiap kali gerakan itu sampai ke ujung yang membengkak-membola itu, Kino merasakan tubuhnya seperti disedot ke dalam pusaran air birahi. Ia menggeliat-geliat keenakan. Kedua kakinya merentang tegang, dengan tumit tenggelam dalam-dalam di kasur. Kino mengerang.

Tris mengerang tanpa berusaha menahan suaranya. Ia sudah tak peduli lagi. Kedua pahanya terpentang lebar dan jari tengahnya melesak menerobos di antara lembah bibir-bibir kewanitaannya. Jari itu meluncur teratur, ....turun sampai melesak sedikit memasuki liang surgawi yang berdenyut-denyut, .... lalu naik menyusuri lembah licin yang hangat dan basah itu, ... lalu terus naik ke atas lepitan kewanitaannya, tiba di tonjolan yang kini memerah itu,... berputar-putar di sana dua-tiga kali .....

"Aaaah," erangan Tris semakin jelas. Kalau ada orang berdiri di balik pintu dan menempelkan kupingnya, niscaya ia akan mendengar erangan itu.

Tangan Tris bergerak semakin cepat, sementara tangan yang satunya juga terus meremas-remas payudaranya dengan gemas. Tubuh Tris berguncang-guncang oleh gerakannya sendiri. Ria menggumam pelan, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh. Tris sudah tak lagi mempedulikannya. Ia sedang dalam perjalanan yang tak mungkin dihentikannya lagi. Ia harus sampai ke tujuan!

Kino merasakan tujuan asmara telah tampak di pelupuk mata. Ia kini memasukkan tangannya ke balik celana dalam, mencekal-meremas langsung kejantanannya. Ada sedikit cairan licin membasahi bagian ujung kejantanannya. Akibat gerakan turun naik, cairan itu terbawa telapak tangan membasahi batang kenyal-keras yang panas membara...

Gerakan tangan Kino semakin cepat dan teratur. Naik turun, naik turun, naik turun... Terkadang agak lama di bagian ujung, meremas-remas dan mengepal. Menimbulkan rasa geli yang berkepanjangan, menyebar ke seluruh tubuh, menggetarkan semua otot, bahkan sampai menyebabkan dipan berderik-derik pelan.

Ranjang Tris bergoyang keras ketika ia mulai merasakan dirinya mendaki puncak asmara. Kini dua jari yang melesak, mengurut, menelusur lembah sempit di bawah sana. Kini kedua pahanya terentang maksimum, membuat kewanitaanya terbuka lebar, memberikan keleluasaan gerak kepada tangannya.

Tangan yang satu lagi kini beralih ke bawah. Tris memerlukan kedua tangannya untuk mendaki puncak gemilang birahinya. Satu tangan untuk melesakkan kedua jarinya cukup dalam ke liang surgawi yang menimbulkan rasa nikmat itu, sementara tangan yang lain mengusap-menekan-memilin tonjolan merah yang kini berdenyut-denyut itu.

Tris bahkan sampai merasa perlu mengangkat pinggulnya, memberikan tekanan ekstra ke seluruh daerah kewanitaannya, menggosok-gosok keras dengan kedua tangannya...

Kino menggosok-gosok dengan cepat. Mengurut dengan keras. Naik turun tangannya semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Nafasnya terengah-engah. Kakinya terasa bagai melayang, padahal keduanya menjejak kasur dengan keras. Satu tangannya yang bebas kini mencengkram seprai, seakan mencegah tubuhnya melambung ke langit-langit. Kino tak tahan lagi, ia menggerendeng merasakan tubuhnya seperti hendak meledak... Lalu ia benar-benar meledak. Menumpahkan cairan-cairan hangat di telapak tangannya.

Tris merasakan tubuhnya mengejang, ia mencoba terus menggosok-menggesek, tetapi rasa geli-gatal begitu intens memenuhi tubuhnya. Ia tak tahan lagi. Ia mengerang parau ketika sebuah ledakan besar memenuhi dirinya ... Kedua kakinya terentang kejang. Kedua tangannya meninggalkan daerah kewanitaannya, mencengkram seprai di kedua sisi tubuhnya. Klimaksnya datang bagai guntur bergulung-gulung...

******

Malam bagai tak peduli. Tetap dengan kelam dan dingin dan desir angin bersiut. Langit sesekali berkerejap oleh kilat di kejauhan. Awan hitam berarak menutupi cahaya bulan, mencegah Raja Malam itu menerangi muka bumi. Pohon-pohon bagai tidur sambil berdiri, terayun-ayun oleh angin yang meraja lela.

Sebentar kemudian hujan mulai turun. Mula-mula hanya berupa rintik kecil. Tetapi lalu dengan cepat semakin lebat. Bahkan kemudian sangat lebat seperti dicurahkan dari langit.

Kino tergeletak lunglai.

Tris terkulai lemas.

Keduanya terpisah oleh tembok, halaman, batu, sungai kecil, pohon, jalan raya, dan sebagainya .... Tetapi mereka bersatu dalam fantasi erotik, mereka bertemu dalam imajinasi asmara yang menggelegak membara.

Siapa bilang tidak ada kekuatan telepati di dunia ini?

0 komentar:

 

Blog Saru © 2008 using D'Bluez Theme Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez Based on FREEmium theme