22 April 2009

Pertemuan Tak Terduga dan Kembalinya Indi

Sore itu cerah dan sejuk sekali di kota B; langit tampak terang tetapi angin dingin berhembus membelai pucuk-pucuk pohon besar yang memenuhi kampus. Sambil bersiul-siul sembarangan, Kino meninggalkan ruang kelas, menuju gerbang utama untuk pulang. Tigor dan Ridwan punya acara tersendiri, sementara Rima tidak masuk hari ini karena flu. Kino pun malas pulang ke tempat kostnya, dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pertokoan pusat kota sendirian, sekedar melihat-lihat pajangan di toko, atau mungkin membeli kaset kalau ada yang bagus.

Senang juga rasanya sesekali berjalan sendirian, tidak terikat teman dan tidak punya tujuan jelas. Kino seakan-akan membiarkan kakinya melangkah tanpa perintah otaknya. Mulanya ia menyusuri toko-toko di pinggir jalan yang berjualan kain, pakaian dan perlengkapan rumah tangga. Sesekali ia berhenti, melihat ada obral jeans, tetapi tidak membeli karena toh masih juga mahal. Kemudian ia masuk ke sebuah mall, membiarkan tubuhnya dibawa lift ke lantai 5, tempat kebanyakan toko musik berada. Di sini dia berlama-lama, melihat-lihat kaset terbaru, tetapi memutuskan untuk tidak membeli.

Lalu ia turun ke lantai dua, tempat sebuah pasar swalayan menggelar barang dagangan mereka seantero lantai. Kino sendiri tidak tahu, untuk apa ia ke sini, karena ia memang tidak bermaksud membeli apa-apa. Atau mungkin membeli minuman ringan, pikir Kino sambil berjalan menuju rak minuman.

Seketika itulah, saat Kino membelok ke gang nomor 5 yang penuh berisi jejeran minuman, dia baru tahu kenapa kakinya melangkah ke swalayan ini. Kakinya ternyata lebih punya insting dibandingkan otaknya. Kakinya ternyata lebih cerdas daripada kepalanya, dan tidak pelu malu kalau ada yang mengatakan "otakmu di dengkul", bukan? Karena kini di depannya, tidak lebih dari 5 langkah darinya, berdiri Tris, sang bidadari itu! Kino sejenak menghentikan langkah, merasakan jantungnya berdegup keras sekali.

Tris yang sedang memilih-milih minuman sendirian (mungkin Ria menunggu di rumah) segera menengok karena merasa ada orang yang memandangnya.

"Hai!" sapa sang bidadari itu ringan sambil melepas senyumnya yang mempesona, sambil menembakkan sinar matanya yang melebihi tajam sinar laser dalam robot-robot di film Spielberg, sambil mengibas rambutnya dalam gerakan indah seperti penari khayangan itu, sambil...

"Kenapa bengong seperti itu?" ucap Tris sambil memutar tubuh menghadap Kino. Senyumnya masih berkembang seakan-akan tersenyum adalah bagian dari gaya hidupnya.

Kino gelagapan, menyahut sekenanya. Entah apa yang diucapkan, dia sendiri tidak tahu. Kata-kata keluar begitu saja dari mulutnya, dan Kino mengeluh dalam hati, mengapa sekarang semua anggota badanku bergerak sendiri-sendiri. Kakiku melangkah sendiri, kini mulutku juga bertindak serupa. Jantungku apalagi, berdegup cepat tak terkendali.

"Oh, begitu!" sahut Tris sambil tertawa kecil. Ah, Kino mengeluh lagi dalam hati. Apa yang tadi kuucapkan sehingga ia tertawa. Pastilah sesuatu yang konyol!

"Sedang apa?" akhirnya Kino berhasil mengeluarkan kata-kata yang dia kenali artinya.

"Mencari minuman untuk pesta ulang tahun Ria," kata Tris sambil mulai kembali mengamati jajaran rak di depannya. Kino melangkah mendekat, berdiri di samping kereta belanjaan yang tampak penuh oleh makanan kecil dan permen coklat.

"Ulang tahun ke berapa?" tanya Kino, tak tahu musti bertanya apa lagi.

"Lima," jawab Tris, membuat otak Kino tiba-tiba berhitung cepat. Kalau Ria berusia lima, berapa usia bidadari ini sebagai ibunya? Mungkin 25, mungkin 30, mungkin 40 ... ah, tak mungkin 40. Tak mungkin juga 30.

"Mau beli apa?" tanya Tris.

"Tigapuluh ..," jawab Kino kembali gelagapan.

Tris menoleh dengan tolehannya yang mempesona itu, memandang Kino dengan matanya yang indah itu, dengan dahi berkernyit. Kino tiba-tiba sadar akan kelancangan mulutnya yang kembali memberontak dari otaknya itu.

Tris tertawa renyai, "Apa yang tigapuluh?" tanyanya masih dengan dahi berkernyit.

"Tigapuluh botol minuman," ucap Kino sekenanya, "Maksudku, aku sedang berpikir untuk membeli tigapuluh botol minuman..."

Tris menghentikan tawanya, Kino mengeluh dalam hati: duh, janganlah berhenti tertawa!

"Buat apa minuman sebanyak itu?" tanya Tris.

"Aku ...," Kino gelagapan lagi, "Aku tidak bermaksud membeli... Aku baru berpikir untuk membeli."

Dan Tris tertawa kecil lagi, dan Kino bersukacita lagi mendengar tawa kecil yang merdu itu, "Kamu terlalu banyak berpikir," kata Tris sambil mengambil beberapa botol minuman beraroma jeruk.

"Bisa aku bantu?" cepat-cepat Kino mengalihkan topik. Dia malu sekali.

Tris tersenyum. Dalam hati, ia berpikir pemuda di sampingnya ini sungguh lucu. Tetapi ia menarik juga. Wajahnya cakep dan air mukanya polos seperti bayi. Apalagi kalau sedang memerah karena malu. Terlebih lagi, pemuda ini kelihatannya baik, terutama karena berhasil menarik simpati Ria. Menurut pengalaman Tris, jarang pemuda bisa menarik simpati Ria yang bandel itu. Entah kenapa, pemuda ini lain.

"Boleh," jawab Tris, "Tolong ambilkan minuman yang di atas itu. Aku tidak bisa menjangkaunya."

Dengan sigap Kino memenuhi permintaan bidadarinya. Ia lebih jangkung dari Tris, yang cuma setinggi kupingnya. Hm,.. entah kenapa Kino langsung berpikir tentang bagaimana harus berjalan di sampingnya, dan bagaimana cara terbaik untuk memeluk bahunya. Astaga, memeluk bahunya? Sergah Kino dalam hati, darimana pikiran itu datang. Duh, kini otakku juga memberontak!

Begitulah akhirnya, Kino mengiringi Tris berbelanja memenuhi kereta dorongnya dengan berbagai keperluan pesta. Pemuda ini bersukur dalam hati. Bersyukur bahwa Ridwan dan Tigor punya kegiatan lain. Bahkan bersyukur Rima sakit flu... jahat sekali kamu Kino, sergah hati kecilnya. Terlebih-lebih, ia bersyukur pada kedua kakinya, yang dengan tanpa perintah telah membawanya ke pertemuan ini. Sebuah pertemuan ringan yang sangat berarti bagi Kino. Mengapa? Karena tiba-tiba Tris merasa haus.

"Aku mau minum es kelapa muda," ucap Tris ketika mereka sedang menunggu giliran membayar di kasir. Kino berdiri di belakang Tris, berdoa agar kasir bekerja selambat mungkin.

"Boleh aku ikut?" ucap Kino dengan keberanian yang menyebabkan lututnya agak sedikit lemas dan jantungnya berdegup keras. Bagaimana kalau ia menjawab "tidak"?

Tris tersenyum tanpa terlihat Kino. Dalam hati, ia mengagumi juga keberanian dan ketegasan pemuda yang tampaknya pemalu ini. Dalam hati pula ia bergumam, mungkin ada baiknya aku mengenal dia. Entah apa perlunya mengenal dia, tetapi entah apa perlunya pula menolak tawaran berteman. Pemuda ini tampaknya baik, pikir Tris, dan tentunya enak juga minum ditemani seseorang. Minimal ada yang mengangkat tas-tas plastik belanjaanku!

"Kamu suka kelapa muda?" jawab Tris tidak langsung meng-iya-kan permintaan Kino.

"Suka. Aku juga suka es alpokat. Atau es campur. Atau es dawet," sahut Kino dengan lancar. Apa pula maksudnya membuat daftar kesukaan seperti itu.

Tris tertawa kecil lagi dengan langgam dan lagu yang selalu mempesona Kino itu. Ah, hari terasa lebih indah dari biasanya. Tetapi rasanya cepat sekali giliran membayar tiba, dan cepat sekali kasir itu bekerja menghitung belanjaan Tris, lalu belanjaan Kino. Mengapa mereka harus cepat-cepat seperti itu, sergah Kino dalam hati. Pemuda ini masih ingin berdiri lama-lama di belakang Tris, dekat sekali sampai ia bisa mencium keharuman parfumnya yang lembut. Dekat sekali sampai ia bisa melihat samar-samar tengkuknya yang putih mulus dan bahunya yang tak tertutup, melengkung indah bagai patung marmer hasil pahatan maestro Italia.

*****

Warung tempat mereka minum tidaklah terlalu besar dan terletak di lantai dasar mall. Ada sebuah meja dengan dua kursi di dekat jendela kaca besar lewat mana Kino bisa memandangi keramaian di luar. Tris meneguk es kelapa muda dalam gelas besar, dan Kino memilih minuman ringan dingin tanpa es karena alpukat tidak ada dan dawet terlalu mengenyangkan.

"Bagaimana kabarnya Ria?" tanya Kino dengan kesungguhan ingin mendengar cerita tentang anak kecil yang lucu itu. Ini memang bukan basa-basi. Kino memang menyukai anak perempuan itu, seperti ia juga menyukai ibunya. Ah, betapa ganjil rasanya seorang mahasiswa menyukai seorang ibu beranak satu!

"Baik-baik saja," jawab Tris sambil memainkan sendok, "Tetapi tambah nakal dan tambah banyak permintaanya. Kemarin dia minta dibelikan bebek, katanya untuk ditaruh di bak mandi."

Kino tertawa, membayangkan betapa nakal dan cerdasnya permintaan itu. Ketika anak-anak lain meminta mainan atau permen, Ria justru meminta bebek. Sebentar lagi anak itu pasti akan meminta kuda poni atau beruang.

Lalu Tris bercerita panjang lebar tentang anak itu, dan Kino dengan senang hati mendengarkannya. Mulai dari kebiasaan buruk Ria menggigit ujung bajunya, sampai kesukaan Ria pada telur mata sapi yang disiram kecap manis, sampai ke kamarnya yang tidak pernah rapi. Kino terpesona, menopang dagu di tangannya, memandang bidadari di hadapannya berkicau ramai dengan penuh semangat. Terutama, Kino terpesona melihat muka Tris yang selalu tampak bercahaya-cahaya. Lebih dari sekali pemuda ini tidak menyimak satu pun kalimat Tris karena terpaku pada wajahnya.

Setelah beberapa lama bercerita, Tris pun sadar bahwa Kino tidak terlalu menyimak. Ia juga tiba-tiba malu sendiri karena memborong pembicaraan. Tetapi yang lebih membuatnya berkesan adalah cara pemuda di hadapannya ini memandang dirinya. Tris tahu, dirinya adalah seorang wanita yang menarik. Hidup telah mengajarinya, sejak kecil, bahwa ia lahir dengan kecantikan yang mempesona. Orang-orang di sekelilingnya telah menunjukkan padanya kekaguman yang terkadang berlebihan. Maka kalau Kino terpesona, Tris tak terlalu heran. Yang membuatnya berkesan justru adalah cara pemuda ini menyatakan kekagumannya. Pemuda ini mengungkapkannya dengan halus, menyembunyikannya di balik kegugupan dan kecanggungannya, membuat Tris merasa lebih dihargai.

"Kenapa kamu memandang seperti itu?" ucap Tris tiba-tiba di tengah ceritanya. Ia sengaja ingin "menembak" pemuda ini, ingin melihat reaksinya. Kino pun memperlihatkan reaksi alamiahnya.

"Eh ... ya.., aku," jawab Kino tergagap, "Apa?"

Tris tertawa lepas, tidak saja dengan mengeluarkan suaranya yang renyai merdu itu, tetapi juga dengan matanya yang berbinar, dengan bibirnya yang basah, dengan rambutnya yang tergerai lepas, dengan bahunya yang berguncang-guncang mempesona. Kino benar-benar tak sanggup berkata-kata berhadapan dengan mahluk yang sejak lama memenuhi mimpinya ini.

"Kamu terlalu sering bengong. Apakah di kuliah mu ada pelajaran bengong?" ucap Tris setelah berhasil menghentikan tawanya. Kino menunduk, merasakan mukanya terbakar. Sialan, sergahnya dalam hati, bidadari ini ternyata nakal juga.

"Dan kamu juga memandang saya seperti memandang mahluk angkasa luar," sambung Tris lagi sambil menahan tawa melihat Kino mati kutu seperti itu.

Senang juga rasa hatinya menggoda pemuda cakep yang pemalu ini. Lagipula, ia diam-diam ingin menguji mental pemuda ini. Entah kenapa, banyak sekali yang ingin dilakukannya terhadap pemuda ini. Tris, bisik hati kecilnya, hati-hati lah dengan kesenanganmu. Tetapi kenapa musti hati-hati?

Kino akhirnya memberanikan diri memandang lurus ke mata Tris. Dia menghela nafas dalam-dalam, berharap agar jantungnya bisa berdetak lebih perlahan. Lalu ia menyusun kekuatan hati, sebelum akhirnya berucap pelan tetapi cukup jelas, "Kamu memang seperti bidadari."

"Apa?" kini giliran Tris yang terkejut. Pemuda ini punya keberanian juga rupanya!

Kino mengumpulkan lagi kekuatan hatinya, lalu berucap lebih keras, "Kamu seperti bidadari."

Tris menghentikan tawa dan senyumnya. Oh, bisiknya dalam hati, pemuda ini mengucapkan kalimat itu seperti sedang mengucapkan sumpah perkawinan. Pelan tetapi tegas. Lembut tetapi penuh kesungguhan. Nah, apa yang akan kau lakukan dengan pemuda ini, Tris! Sergah hati kecilnya. Kini sudah kau terima jawabannya, apa yang akan kau lakukan?

Kino kuatir melihat Tris tiba-tiba diam dan mengubah tidak saja sinar mukanya tetapi juga duduknya. Kini bidadari itu tidak lagi duduk santai, melainkan menegakkan tubuhnya dan mencurahkan perhatian ke minumannya.

"Maaf," buru-buru Kino berucap hampir tak terdengar. Ia kuatir bahwa ucapannya terlalu lancang. Ya, memang tidak lumrah mengucapkan kata-kata seperti itu kepada seorang wanita yang sudah bersuami dan beranak satu, bukan?

Tris berdehem membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal. Lalu ia tersenyum, merasa agak menyesal harus memulai permainan yang kini ternyata tidak begitu lucu itu. Ucapannya juga pelan nyaris tak terdengar, "Tidak apa-apa."

Lalu kecanggungan memenuhi mereka, dan Kino menyesal bersikap terlalu terus terang. Lihatlah apa yang kau lakukan Kino, kau merusak suasana dengan ucapan lancangmu itu. Hatinya penuh dengan makian-makian. Oh, pikir Kino risau, kini hatiku pun ikut berontak terhadap diriku.

Lalu minuman Tris habis tandas dan ia mengatakan sebaiknya ia pulang karena hari sudah mulai gelap. Kino tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk memperbaiki suasana. Dengan enggan ia bangkit, memaksa untuk membayar minuman tetapi gagal, karena Tris menolak dan menganjurkan untuk membayar sendiri-sendiri. Kino semakin risau dan menyimpulkan tindakan Tris itu sebagai reaksi atas kelancangannya.

Lalu mereka pun berpisah. Tris naik taksi dan bahkan tidak menawarkan kepada Kino untuk ikut serta. Pemuda ini semakin terpukul walaupun ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya dengan terus menerus tersenyum. Pastilah senyuman itu tidak bagus sama sekali.

Tris melambai dari dalam taksinya. Dilihatnya Kino berdiri di trotoar memandang terus ke taksinya sampai taksi itu hilang di tikungan. Hmm, pikir Tris dalam hati, pemuda itu pasti menyangka aku marah. Sebuah senyum manis terkembang di bibirnya. Mungkin ada baiknya ia membiarkan pemuda itu berpikiran bahwa dirinya marah. Tris ingin tahu, apa yang akan dikerjakannya. Ah, kadang-kadang ia merasa dirinya terlalu sadis, suka mempermainkan perasaan orang.

"Mau kemana, non?" tiba-tiba ucapan supir taksi membuyarkan lamunan Tris. Astaga, taksi ini berjalan keluar dari pelataran parkir mall, tetapi tidak tahu hendak kemana. Tentu saja, Tris belum menyebutkan alamatnya. Maka buru-buru ia mengucapkan tujuan dan berbisik dalam hati, hei ... ternyata kamu sendiri juga terpikat pada pemuda itu. Sialan, sergah Tris dalam hati, kesimpulan itu terlalu cepat.

Tetapi, hmmm .. bagaimana kalau kesimpulan itu benar?

**********

Malam itu Kino tidak bisa tidur sampai menjelang fajar. Ketika akhirnya ia tertidur, mimpinya pun menggelisahkan. Ia bermimpi didatangi seorang lelaki yang mengaku adalah suami Tris. Lelaki itu memperingatkan Kino agar jangan sekali lagi mendekati istrinya. Lebih celaka lagi, lelaki itu datang bersama Ria yang ikut-ikutan memarahinya. Anak kecil itu mengatakan bahwa ibunya tidak suka kepada Kino.

Kino terbangun dengan tubuh penuh keringat. Kepalanya juga terasa sangat berat karena tidurnya tidak cukup. Ia bangkit hendak menuju kamar mandi karena harus kuliah. Tetapi keinginan tersebut dibatalkannya. Ia kembali ke dipan dan meringkuk meneruskan tidurnya. Biarlah ia membolos sekali ini, besok akan meminjam saja catatan Tigor atau Ridwan.

Tengah hari baru ia terbangun dengan perut lapar. Ibu kost tampak kuatir melihat Kino keluar dari kamarnya dengan wajah kusut masai. Ibu itu bertanya apakah Kino sakit, dan pemuda itu menjawab bahwa ia cuma kurang tidur.

"Tetapi wajahmu seperti mayat hidup," ucap ibu kost yang baik hati itu.

"Mungkin karena saya lapar saja, bu," jawab Kino, membuat wanita tua itu langsung sibuk menyiapkan meja dan menuju dapur. Kino merasa tidak enak dibuatnya. Ibu ini terlalu baik.

"Biarlah, bu. Saya bisa mengambil sendiri," ucapnya sambil menyusul ke dapur.

********

Sehabis makan siang, Kino memutuskan untuk membaca saja di kamar. Tetapi ketika ia sedang membersihkan dan membereskan tempat tidurnya, terdengar ketukan pelan di pintu. Kino yang sedang membelakangi pintu menyangka itu ibu kost, maka ia berucap tanpa menoleh, "Sayur lodehnya enak sekali, bu."

"Ini Indi, kak!" suara gadis itu terdengar nyaring bagai petir di siang bolong.

Kino hampir terlompat, membalikkan tubuhnya. Indi berdiri di ambang pintu, membentuk siluet berlatar belakang terik siang di luar sana. Kino memicingkan matanya, seakan ingin memastikan bahwa itu memang Indi.

"Kata Ibu kost, Kak Kino tidak kuliah dan ada di kamar," ucap Indi masih berdiri di ambang pintu, "Maaf kalau Indi mengganggu.." (tentu saja, ini bukan Indi yang biasanya. Sejak "peristiwa lompat jendela" beberapa waktu yang lalu, Indi tidak lagi centil dan bahkan terlalu sopan).

"Eh, Indi!" ucap Kino dengan rasa kaget yang orisinal, tidak dibuat-buat, "Tumben ke sini. Ayo masuk."

Dengan canggung Indi melangkah masuk. Di tangannya ada sebuah buku dan sebuah pena. Pasti PR matematika, pikir Kino. Dan betul saja.

"Boleh tanya soal matematik, Kak?" ucap Indi dengan suara ragu-ragu, tidak dengan manja seperti biasanya. Ah, Kino sebenarnya ingin Indi kembali seperti semula. Tidak wajar rasanya mendengar suara Indi yang serba formal itu.

Kino tersenyum semanis mungkin dengan harap dapat mencairkan suasana. Lalu ia melangkah mendekat, meraih tangan Indi dan menuntunnya ke meja belajar dekat jendela. Indi menurut saja dan duduk sopan di bangku yang tersedia. Kino permisi sebentar keluar untuk mengambil kursi lain. Ketika pemuda ini kembali, Indi masih duduk diam-diam. Biasanya, gadis ini sudah bergulingan di dipannya!

Lalu Kino dengan sabar menuntun Indi menjawab 20 soal matematika di buku PR-nya. Tidak seperti biasanya, soal-soal ini memang benar sulit. Artinya, Indi memang benar-benar memerlukan bantuan, bukan sekedar mengganggunya. Dalam hati Kino tersenyum, merasa senang bahwa akhirnya hubungan mereka membaik kembali.

"Boleh Indi tanya sesuatu, kak?" kata Indi ketika soal terakhir sudah selesai. Buku PR sudah ditutup.

"Boleh," jawab Kino pendek sambil membersihkan bekas-bekas rautan pensil yang tadi dipakainya untuk mencoret-coret jawaban.

"Kenapa waktu itu Kak Kino marah?" tanya Indi dengan suara pelan. Terlalu pelan untuk gadis yang biasanya centil itu.

Kino terdiam. Sungguh ia tidak berharap Indi bertanya tentang soal yang satu itu. Ia sendiri sampai sekarang belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi malam itu. Tetapi Kino juga lega karena akhirnya ia punya kesempatan untuk mendiskusikan hal ini dengan Indi.

"Aku juga tidak tahu, Indi," jawab Kino akhirnya, terus terang dan apa adanya.

Indi mengangkat mukanya, menggigit bibirnya yang ranum seperti sedang berusaha menahan sesuatu. Matanya yang sebenarnya memang indah itu tampak agak basah. Ah, jangan itu lagi Indi. Jangan menangis lagi. Sergah Kino dalam hati.

"Aku sudah minta maaf, bukan?" ucap Kino buru-buru.

"Indi juga minta maaf," ucap gadis itu pelan, lalu menunduk memainkan ujung baju seragamnya. Kino tak tega juga rasanya melihat Indi menjadi murung begitu. Maka dengan lembut disentuhnya bahu Indi.

"Sudahlah, Indi. Kita lupakan saja peristiwa itu. Sekarang Indi bisa ke sini lagi seperti biasanya, dan kita bisa berteman lagi" kata Kino.

"Tetapi Indi tidak bisa melupakan peristiwa itu," jawab gadis itu.

Kino menghela nafas panjang, "Baiklah. Tetapi jangan sampai membuat kamu berubah seperti ini"

"Seperti apa?" tanya Indi, matanya masih berkaca-kaca.

"Seperti ini," ucap Kino sambil mengembangkan tangannya, "Terlalu dibuat-buat, terlalu formal. Tidak seperti biasanya."

"Kak Kino ingin Indi seperti apa?"

Ups! Kino tiba-tiba sadar bahwa gadis ini sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius. Terlebih lagi, pertanyaan terakhir ini ternyata sulit: seperti apa Kino ingin Indi bersikap?

"Kembali seperti biasa, lah," jawab Kino sekenanya sambil berpikir keras untuk menyiapkan jawaban berikut, karena ia tahu Indi bukan gadis yang gampang menyerah.

"Seperti dulu lagi?" tanya Indi.

"Iya. Seperti dulu lagi ...," ucapan Kino tak selesai, mengambang di tengah-tengah.

"Manja dan nakal?" tanya Indi. Wajah gadis ini menunjukkan kesungguhan. Mati aku, sergah Kino dalam hati. Gadis ini ternyata sama seriusnya dengan hakim di pengadilan yang sedang menanyai terdakwa.

"Iya... ya. Begitulah," kata Kino cepat-cepat. Ia bangkit hendak membuang bekas rautan pensil, dan melakukannya dengan seperlahan mungkin agar bisa selama mungkin menjauh dari Indi yang masih duduk tegak di kursi.

"Tetapi Indi dulu suka sekali kepada Kak Kino. Apakah masih boleh begitu?" tanya Indi lagi. Ah, ini pertanyaan yang amat sulit buat Kino.

"Boleh saja," sahut Kino sambil pura-pura membereskan buku-buku di rak dinding dekat pintu keluar.

"Boleh minta dicium lagi, misalnya?" tanya Indi pelan, tetapi benar-benar terasa seperti dinamit meledak dekat telinga Kino.

Kino terpaku di tempatnya berdiri. Keduanya saling memunggungi. Kino berpikir keras untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi ia tidak bisa melihat Indi tersenyum kecil walau matanya masih basah. Gadis ini merasa "menang angin".

Setelah sekitar dua menit, akhirnya Kino berbalik, berjalan mendekat ke meja dan menghenyakkan tubuhnya di kursi. Indi mengangkat muka, memandang dengan matanya yang menusuk tajam ke hati Kino. Nah, begitulah akibatnya kalau menganggap enteng anak SMA, pikir Kino penuh penyesalan.

"Kak Kino tidak ingin Indi seperti dulu lagi, bukan? Tidak ingin Indi menyukai Kak Kino dan minta dicium. Tak ingin Indi masuk kamar seenaknya lalu tidur di kasur Kak Kino," ucap gadis itu dengan lancar.

Kino terpana. Ya. Memang itulah yang diinginkannya. Kenapa ia tidak berani mengucapkannya. Karena kau tak ingin Indi berhenti manja kepadamu! Sergah hati kecilnya.

"Kak Kino tidak suka sama Indi, bukan?" tanya gadis itu lagi melihat Kino diam saja.

Kino menghela nafas panjang, menghembuskannya keras-keras, lalu ia menggeleng-geleng dengan kuat. "Tidak," katanya, "Kakak suka sama Indi, tetapi juga takut kalau rasa suka itu berubah menjadi peristiwa seperti malam itu."

"Kenapa takut?" tanya Indi.

"Karena kamu bisa hamil!" sergah Kino, lega bisa berucap terus terang.

"Tetapi kita tidak melakukan hubungan kelamin," Indi bersikeras.

"Tetapi kamu membuka celana," sahut Kino cepat.

"Tetapi semua anak laki selalu ingin membuka celana Indi," sahut Indi tak kalah cepat.

"Ya ampun, Indi!" Kino menepuk dahinya sendiri, "Berapa, sih, anak laki-laki yang pernah ingin membuka celanamu?"

"Hmmm ...," Indi memejamkan matanya seperti berpikir keras, tiba-tiba ia sudah berubah menjadi centil lagi. Astaga, gadis ini cepat sekali berubah, sergah Kino dalam hati. Dan kemana sebeetulnya arah pembicaraan ini?

"Delapan!" ucap Indi sambil membuka matanya. Kino tersentak. Gila, dia sudah punya delapan mantan pacar!

"Kenapa kamu ungkapkan semua ini, Indi," ucap Kino lirih, "Apa yang ingin kamu diskusikan? Seks?"

Indi mengangguk. Kino terpana lagi. Celaka, kenapa aku harus punya tetangga centil dan cerdas seperti ini, keluhnya dalam hati.

"Indi ingin tahu, kenapa Kak Kino tidak meneruskan tindakan malam itu setelah tahu Indi sudah tidak bercelana dalam," ujar gadis itu lancar, seakan-akan sedang bertanya tentang kenapa rumput warnanya hijau, atau kenapa ular tidak berkaki.

"Karena ...," Kino berhenti berucap. Ia tak tahu harus berkata apa.

"Kenapa Kak Kino tidak meraba-raba Indi di bagian itu, padahal Indi tak keberatan," potong Indi melihat Kino tak melanjutkan ucapannya.

"Karena ...," Kino berhenti lagi. Ia betul-betul kehabisan kata-kata. Indi membawa persoalan yang jauh lebih sulit dari matematika tersulit yang pernah dipecahkannya.

"Apakah karena Kak Kino tidak pernah melakukannya? Maksud Indi, tidak pernah meraba-raba di bagian sana?"

"Aku pernah!" sergah Kino. Tetapi cuma itu yang bisa dikatakannya.

"Dengan siapa?" Indi mendesak dan tampak tenang-tenang saja. Bahkan kini duduknya pun tidak lagi tegak, melainkan sudah lebih santai.

"Dengan pacarku, tentunya!" sergah Kino lagi, "Tetapi sekarang sudah putus ...," sambungnya cepat. Ah, betulkah ia sudah putus dengan Alma ..

"Pacar Kak Kino senang diraba-raba di bagian itu?"

Kino bangkit tergesa-gesa, kursinya sampai terguling berkelontangan. Indi tersenyum melihat pemuda ini gelisah oleh pertanyaan-pertanyaannya. Dan Kino pun sadar Indi sedang menghukumnya, sedang membalas perlakuannya malam itu. Kini Kino sadar, apa yang dimaksud dengan "tak bisa melupakan" di kalimat Indi sebelumnya.

"Aku tak mau menjawab pertanyaanmu lagi!" sergah Kino akhirnya sambil mengembalikan kursi ke posisi semula.

Dari nada suaranya, Indi tahu Kino tidak marah. Ucapan itu lebih berupa pernyataan menyerah daripada marah.

"Jadi, Kak Kino tidak mau lagi mencium Indi, atau meraba-raba Indi, bukan?" ucap gadis itu sambil bangkit perlahan dan mendorong kursinya dengan rapi. Didekapnya buku PR matematika di dadanya, lalu ia memutar tubuh menuju pintu keluar.

Kino terpaku di tempatnya berdiri, memandang Indi perlahan-lahan meninggalkan kamar. Ah, rasanya ada yang belum selesai dalam diskusi ini, tetapi apa? Ucap Kino dalam hati. Terburu-buru, ia menahan Indi pergi, "Jangan pulang dulu," katanya.

Indi berbalik di ambang pintu, kembali membentuk siluet dengan latar belakang terik siang di luar sana. Kino mendekat, meraih tangan gadis itu, dan menariknya kembali ke dalam. Lalu, dengan tanpa rencana sama sekali, gadis itu sudah ada dalam pelukannya. Tanpa rencana pula, bibir gadis itu telah diciumnya. Dilumatnya dengan gemas. Tanpa rencana sama sekali, pintu kamar tiba-tiba tertutup dengan suara berdebam.

"Kak Kino..," desah Indi ketika pemuda itu merenggangkan ciumannya, tetapi segera gadis itu terdiam lagi karena Kino kembali melumat bibirnya yang ranum membasah.

Tangan gadis itu tahu-tahu sudah memeluk leher Kino. Buku dan bolpennya jatuh berserakan di lantai. Matanya yang tadi basah kini terpejam. Indi merasa tubuhnya seperti segumpal kapas ringan yang terbawa angin terbang tinggi. Sebersit rasa nikmat yang telah lama dikenalnya kini muncul lagi di dalam tubuhnya. Ia membuka mulutnya, membiarkan lidah Kino dengan liar bermain-main di dalamnya. Ia membalas setiap pagutan pemuda itu, membiarkan tubuh keduanya pelan-pelan terbakar birahi.

Kino pun tak tahu apa yang terjadi dengannya. Begitu cepat segalanya berlangsung. Tahu-tahu tangannya sudah berada di balik beha Indi, di balik baju seragamnya yang kini sudah terbuka setengahnya. Nikmat sekali rasanya memegang daging kenyal yang membukit itu. Telapak tangannya terasa geli menyentuh putting Indi yang segera tegak tegang. Dengan gemas Kino meremas, membuat Indi mengerang pelan. Kino meremas lagi lebih keras. Indi mengerang lagi, kini disertai desah gelisah dan nafas yang semakin memburu.

Perlahan-lahan, dengan terhuyung-huyung, keduanya bagai sepakat melangkah ke arah ranjang. Tak lama kemudian, keduanya sudah bergulingan di dipan yang belum lagi sempat dirapikan itu. Kino menindih tubuh Indi sambil terus melumat bibirnya. Terus terang, bibir Indi sangat menggairahkan untuk dilumat dikulum. Ranum dan basah bagai mangga muda yang siap dirujak. Nafasnya harum memenuhi hidung Kino, membuat pemuda ini semakin mabuk kepayang. Tangannya masih pula bermain-main di dada Indi yang kini sudah terpampang terbuka, menjulang indah bergerak turun naik seirama nafasnya yang memburu. Dengan telunjuk dan jempolnya, Kino menjepit putting Indi, memilin-milinnya perlahan tetapi juga gemas.

Indi melepaskan mulutnya dari pagutan Kino karena ia ingin mengerang merasakan rasa geli yang nikmat bercampur sedikit perih datang dari puncak payudaranya, "Ngggg ... aaah!"

Kino menciumi leher gadis itu, yang selalu harum sabun wangi bercampur kelembutan bayi. Perlahan digigitnya sedikit leher jenjang itu. Indi menggelinjang. Kino menggigit lagi lebih keras. Indi mengerang, berusaha menjauhi lehernya dari gigitan Kino, tetapi tidak sungguh-sungguh berusaha. Gadis itu menggelinjang lagi, merasakan dadanya diremas-remas oleh tangan Kino yang kini seperti menyebarkan bara hangat ke seluruh tubuhnya.

Tangan Indi kini merasuki rambut Kino yang mulai gondrong, lalu pelan-pelan dara itu mendorong kepala Kino ke bawah. Setengah memaksa, setengah meminta, Indi terus mendorong hingga akhirnya mulut Kino tiba di lembah payudaranya. Oh, terasa hangat nafas Kino memenuhi dada Indi. Oh, terasa semakin geli gatal puncak-puncak payudaranya, menunggu mulut yang nakal dan basah itu. Indi pun mengerang lagi, bahkan kemudian berbisik, "Ayo, Kak ... gigit lagi...."

Dan Kino pun menggigit, menyebabkan Indi menggeliat sambil mendesis menyatakan rasa nikmatnya. Lalu Kino mengangkat kepalanya, menciumi puncak payudara Indi, terutama di pangkal putingnya. Indi menggeliat lebih hebat lagi, merasakan betapa kegelian itu bagai berpusing-pusing di puncak payudaranya. Bagai angin putting beliung yang menderu-deru memenuhi dadanya. Apalagi kemudian Kino mengeluarkan lidahnya, menjilati pangkal putting dan daerah lingkaran berwarna coklat tua itu. Oh, Indi merasa dirinya dilambungkan ke langit luas. Apalagi lalu lidah itu naik ke puncak putingnya, .... Oh! ... Indi menggeliat kuat, menyorongkan dadanya, sehingga mau tak mau Kino menerima putting itu di dalam mulutnya. Kino langsung menyedot kuat .... Dan Indi merasa tubuhnya seperti meledak oleh kegelian-kegatalan.

"Oooooooh! ... terus Kak," Indi mengerang mendesah, "Terus, Kak.... Ooooh!"

Lalu Indi merasakan kenikmatan yang amat kuat seperti mendesak keluar dari dadanya, turun ke bawah menuju perutnya, terus ke bawah memenuhi pinggulnya, sebelum akhirnya bermuara di antara dua pahanya yang kini bergetar. Dengan tak sadar, Indi merenggangkan kakinya, lalu memeluk pinggang Kino dengan kakinya, menarik bagian bawah tubuh pemuda itu semakin rapat ke tubuhnya. Roknya sudah tersingkap tak karuan, menampakkan kedua pahanya yang mulus dan ditumbuhi rambut-rambut halus yang nyaris tak terlihat.

Kino merasakan pinggulnya bagai dijepit kepiting raksasa. Perutnya terasa hangat menempel di perut Indi yang terbuka. Celana jeans-nya terasa sangat sempit, terutama di bagian depan. Sejak mencium tadi, kejantanan Kino telah tegak-tegang dengan sendirinya. Kini kejantanan itu terjepit di antara lembah hangat yang tertutup nilon tipis. Nyaman sekali rasanya. Geli dan gatal pula. Kino pun mengerang.

Sambil terus menghisap-menyedot tonjolan kenyal di dada Indi, pemuda ini pun menggerakkan pinggulnya berputar-putar. Bagi Kino rasanya memang tidak begitu leluasa, mengingat jeans yang dikenakannya terlalu tebal. Tetapi bagi Indi, gesekan jeans yang menyembunyikan tonjolan keras hangat itu sangatlah menimbulkan gairah. Indi merasakan selangkangannya mulai basah dan ada rasa gatal yang minta digaruk di bawah sana. Ia pun mengeratkan jepitan kedua pahanya, menekan Kino lebih lekat lagi terhenyak ketubuhnya.

Indi merasakan geli-gatal itu kini bercampur rasa ingin buang air kecil, penuh desakan-desakan yang menggelisahkan. Ia memejamkan matanya kuat-kuat, tersengal-sengal bernafas karena dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup makin kencang. Seluruh tubuhnya meregang setiap kali Kino menggerakkan pinggulnya dan rasa geli-gatal itu kini menyebar keseluruh tubuhnya. Sebentuk desakan amat kuat terasa di bagian dalam kewanitaannya, yang kini seperti diremas-remas oleh tonjolan di celana jeans Kino itu. Indi mengerang keras sambil meregangkan kedua pahanya lebar-lebar, menyebabkan pemuda itu lebih leluasa bergerak.

Kino bergerak makin keras dan kasar. Tidak saja berputar-putar, tetapi juga mendorong mendesak ke depan, menyebabkan pantat Indi semakin terbenam di kasur. Gadis ini meregangkan kedua kakinya selebar mungkin. Satu tangannya mengait lututnya sendiri, sementara tangan yang lain mencekram rambut Kino. Tubuhnya melenting ketika ia tak kuasa lagi menahan desakan yang tampak bagai ingin menjebol pinggulnya itu. Ia menyerah, membiarkan sebuah aliran hangat seperti menyebar cepat di dalam kewanitaannya, dibarengi rasa nikmat yang luar biasa.

"Aaaaah...... Kak Kino....... Ooooooooh!" Indi mengerang keras, "Aaaaaah!"

Tubuh gadis ini lalu berguncang hebat, mula-mula hanya di pinggulnya, tetapi lalu juga di seluruh tubuhnya. Kino ikut terguncang tetapi ia tetap berusaha berada di atas tubuh gadis itu. Indi mengerang, mengeluh, mendesah, mendesis panjang. Tubuhnya bagai dipenuhi per yang membuatnya melenting melambung di atas kasur. Dipan pun berderit ramai membuat Kino kuatir terdengar ibu kost.

Lalu gadis itu terkulai lemas, seakan kehilangan seluruh tulang di tubuhnya. Matanya masih terpejam dan seluruh wajahnya berona merah seperti kepiting rebus. Mulutnya sedikit terbuka, menghamburkan nafas yang masih memburu. Dadanya yang telanjang tampak agak berkeringat, turun naik dengan cepatnya. Sungguh seksi pemandangan ini bagi Kino, yang masih menempel erat di tubuh dara itu, dengan kedua tangan mencekal serta menekan pergelangan Indi di kasur. Seperti seorang polisi yang menerkam dan menahan penjahat agar tidak berontak kabur.

Lalu nafas Indi mereda, dan ia membuka matanya, memandang Kino yang sedang termangu memandang wajah gadis itu. Manis sekali Indi dalam keadaan seperti ini. Rambutnya yang legam bagai membingkai wajahnya yang oval. Bulu matanya lentik, dan ada lesung pipit kecil di pipinya. Pelan-pelan senyum Indi mengembang.

"Berisik sekali kamu," kata Kino sambil tersenyum pula.

"Sorry! Indi lupa diri..." bisik Indi manja. Ia sudah kembali seperti semula: centil dan penuh senyum manja menggoda. Kino pun sadar, gadis ini punya daya tarik yang tak bisa dianggap remeh.

Entah kenapa, birahi Kino sirna secepat datangnya. Melihat wajah manis manja di depannya, melihat tingkahnya yang terbuka dan tulus, Kino tiba-tiba merasa tak patut melanjutkan permainan berbahaya ini. Tetapi setidaknya ia berhenti pada saat yang tepat, tidak seperti sebelumnya saat Indi justru sedang mendaki puncak asmara.

Indi melepaskan diri dari cengkraman tangan Kino yang memang juga membiarkannya lepas. Lalu gadis itu mengembangkan tangannya, mengundang Kino ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan erat, Indi memejamkan mata sambil tersenyum puas. Kino merasakan kedua bukit kenyal Indi terhenyak di dadanya, menimbulkan kesan indah tersendiri yang tidak cuma berisi birahi tetapi juga kelembutan.

"Indi suka sekali sama Kak Kino," bisik gadis itu.

"Tetapi kita tak bisa begini terus, Indi," jawab Kino pelan sambil mengusap sayang rambut gadis di pelukannya itu. Terasa oleh Kino gadis itu mengangguk.

"Kamu mengerti, bukan?" ucap Kino lagi sambil berdoa semoga tidak ada diksusi lanjutan di atas tempat tidur dalam keadaan seperti ini.

"Mengerti boss!" kata Indi jenaka. Ah, ia telah kembali ke formatnya semula, pikir Kino gembira. Indi yang dulu telah kembali seperti sediakala. Kini persoalannya ada pada Kino kembali: apakah ia sanggup bersikap tegas terhadap gadis ini. Apakah aku bisa dengan tegas menyatakan pendirianku di depannya, tanya Kino gelisah dalam hati.

"Sebaiknya sekarang kamu pulang," ucap Kino sambil melepaskan pelukannya. Indi pun melepaskan diri dan dengan tenang mengenakan kembali beha dan mengancing baju seragamnya.

"Apakah Indi masih boleh ke mari lagi?" tanya gadis itu sambil merapikan rambut dengan jemarinya.

Kino tersenyum lalu mencubit pipi Indi yang masih agak merona merah. Ia tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi mengangguk pelan dan samar.

"Indi mendapat PR matematika setiap hari, lho!" ucap gadis itu dengan mata yang dilebarkan.

"Boleh. Tetapi kita kerjakan di meja makan, di ruang tengah," jawab Kino kalem.

"Bagaimana kalau PR itu harus dikerjakan hari Sabtu?" kata Indi sambil bangkit dan merapikan roknya.

"Kenapa memangnya?"

"Boleh mengerjakannya malam-malam di kamar Kak Kino?"

Sialan, sergah Kino dalam hati. Tentu saja, itu adalah malam minggu! Kino bangkit dan mendorong bahu gadis Indi, menyuruhnya keluar sambil tersenyum menyadari betapa ia kalah cerdik oleh gadis itu dalam soal-soal yang seperti ini.

"Boleh atau tidak?" desak gadis itu di ambang pintu yang sudah dibuka Kino lebar-lebar.

"Tidak," jawab Kino pendek sambil menatap kedua mata Indi yang juga sedang lekat memandangnya.

"Benar-benar tidak boleh?"

Kino menggeleng. "Benar-benar tidak boleh," katanya sambil mendorong lagi Indi agar melangkah keluar. Mereka lalu berjalan beriringan keluar. Kino mengantar sampai pagar lalu berbalik tanpa menjawab lambaian tangan Indi, tanpa mempedulikan pula cibiran gadis itu. Tiba-tiba ia merasa mengantuk sekali. Merasa letih sekali. Kejadian-kejadian dua hari ini membuat Kino merasa tak berdaya. Ia ingin segera tidur kembali.

0 komentar:

 

Blog Saru © 2008 using D'Bluez Theme Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez Based on FREEmium theme